CHAPTER 12

134 16 0
                                    

Cam menyuruhku tinggal di rumahnya sementara Dad, Justin, dan Grace masih ada di rumah Grandma. Aku cukup terkejut melihat Dad, sepertinya dia membatalkan kepulangannya-atau kepulangan kami-ke Montreal. Dia tampak gusar dan marah ketika memasuki rumah itu.

Cam terus mengintip mereka melalui jendela kamarnya, sementara aku meringkuk di sudut tempat tidurnya. Kepalaku tidak berhenti berdenyut sejak aku melihat SUV sialan itu. Aku harap Grandma dan Grandpa tidak memberitahukan keberadaanku.

Sampai pukul 7 malam mereka belum pergi juga. Cam berusaha menenangkanku dengan menceritakan kisah masa kecilnya-yang dianggapnya bisa mengalihkan pikiranku. Aku juga berusaha memahami cerita Cam, namun wajah Dad tetap menghantuiku. Aku melingkarkan lenganku di tubuhnya dan menyandarkan kepalaku di dadanya (sungguh, aku tidak modus, aku benar-benar takut).

Setelah 4 jam yang menyiksa, akhirnya Grandma menelepon. Aku sangat lega ketika dia bilang mereka tidak membocorkan rahasiaku. Dan kau tahu, Grandma menyuruhku bermalam di rumah Cam hari ini karena Dad masih melanjutkan pencarianku di sekitar S Normandie, dia takut kalau Dad menemukanku ketika aku berjalan pulang. Sungguh konyol.

"Ehm, Cam." kataku setelah Grandma menutup telfonnya.

"Ya?"

"Kau keberatan kalau aku tidur di rumahmu malam ini? Dad masih mencariku di sekitar sini, dan Grandma takut kalau dia menemukanku." kataku canggung.

"Oh, oke. Aku sama sekali tidak keberatan. Kau bisa tidur di kamarku." katanya.

"Sungguh? Tapi bagaimana denganmu?"

"Aku akan tidur di sini." katanya seraya menepuk sofa yang didudukinya.

"Kau tak apa?"

"Tak apa, Alexis. Aku sudah biasa tidur di sini. Atau lebih tepatnya ketiduran di sini." guraunya.

"Ah, oke. Terima kasih, Cam. Kau benar-benar baik." kataku sambil menyunggingkan senyum khasku.

"Sama-sama." katanya lalu membalas senyumku.

"Oh iya, kita belum makan malam." katanya lagi.

"Ehm, aku tidak terlalu lapar. Kalau kau ingin makan, makanlah dulu." kataku.

"Ayolah, kita baru saja melewati jam-jam yang berat, kau pasti lapar." katanya.

"Aku tak lapar, sungguh."

"Hm, kalau begitu aku juga tidak lapar."

"Makanlah, Cam." kataku memohon.

"Aku tak akan makan tanpamu." katanya.

"Pfh, oke oke aku makan." kataku.

"Nah, itu lebih baik. Aku akan melihat apa yang aku punya di dapur." katanya lalu pergi. Aku mengikutinya. Cam membuka seluruh lemari makanannya dan menemukan sekotak spaghetti instan.

"Ah, aku belum membeli makanan lagi." keluhnya sambil menatap kotak itu.

"Hey, kurasa itu cukup untuk kita berdua." kataku.

"Sungguh? Kau tak akan kenyang." katanya.

"Aku hanya makan sedikit, Cam. Sudahlah, tak apa." kataku lalu membuka bungkusan di tangan Cam.

"Biar aku yang memasaknya." kataku.

"Well, baiklah. Thank's, Alexis." katanya. Aku membalasnya dengan senyuman.

Beberapa menit kemudian kami sudah menyantapnya. Sepiring spaghetti itu tampak tak meyakinkan tapi kami menghabiskannya dengan cepat. Dan kau tahu, aku tak sengaja menyantap satu spaghetti yang sama dengan Cam dan kami hampir berciuman (lagi) ketika kami sampai pada ujungnya. Aku tahu ini kelihatan seperti drama atau film romansa yang kau lihat di TV, tapi kami benar-benar mengalaminya. Kami tertawa ketika kami menyadarinya.

Oh Tuhan, dia sangat mempesona.

TRUST (Book 1) // Ariana Grande & Justin BieberTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang