Hari ini adalah hari yang paling menyebalkan dalam hidupku. Kau tahu kenapa? Biar kuberi tahu. Pertama, aku menabrak loker siswa yang tiba-tiba terbuka tanpa sepengetahuanku. Kedua, aku terjerembab di tanah saat pemanasan karena Shawn mendorongku. Ketiga, seragamku robek karena tersangkut paku yang mencuat di kursi sialan di kelas induk. Dan yang keempat, seorang guru membangunkanku tengah malam untuk menerima telepon dari Dad, dia bilang dia mengkhawatirkanku karena aku belum menghubunginya sejak tiga hari lalu. Oh Tuhan!
Ah, lupakan hal memalukan yang baru saja kau baca. Sekarang, aku tidak bisa tidur lagi. Aku hanya bisa duduk diam di tempat tidurku, memandangi teman-teman sekamarku yang hanyut bersama mimpi mereka. Tidak ada komputer atau ponsel bahkan televisi yang bisa menemaniku. Satu-satunya hal yang bisa aku lakukan adalah berpikir, menebak-nebak apa yang sedang tejadi di luar sana, apa yang aku lewatkan selama aku mengikuti Camp, dan bahkan bertanya-tanya apakah Cam sedang memikirkanku saat ini. Tunggu. Cam. Cam? Oh tidak. Aku belum memikirkan apa yang harus kuberikan untuk ulang tahunnya. Aku tidak tahu pasti apa yang dia inginkan, dan bertanya padanya pun tidak akan memberi banyak jawaban. Cam tidak pernah membicarakan keinginannya terbesarnya padaku.
Cam suka anak anjing, tapi dia bilang dia tidak akan bisa mengurusnya karena dia terlalu sibuk. Dia juga suka kucing, tapi dia alergi, dan hanya bisa memandanginya dari jauh. Dia suka es krim, tetapi aku tidak mungkin memberinya sekotak es krim dan membuatnya terkena brain-freeze. Terakhir, dia suka pizza pepperoni dan chicken enchiladas, yang sepertinya tak akan bisa kumasak dalam semalam. Oh Tuhan.
Aku memutar otak selama satu jam dan tidak ada hasilnya. Kurasa ini lebih memusingkan daripada mengerjakan soal persamaan kuadrat dalam matematika. Akhirnya aku memutuskan untuk keluar kamar dan menyusuri koridor asrama untuk mencari ide. Mungkin beberapa orang yang terjaga bertanya-tanya mengapa ada seorang siswi yang berjalan-jalan dengan piama bergambar panda pada dini hari, tapi aku tak menghiraukannya. Aku tetap memutari lantai tiga sampai bintang-bintang di langit menghilang. Saat itu juga aku sadar jam menunjukkan pukul 3 pagi. Aku segera kembali ke kamarku dan berbaring sejenak.
[skip]
"Alex!" panggil Cam dari balik gerbang sekolah ketika aku selesai praktik lapangan. Aku menghampirinya.
"Hey." sapaku, masih terengah-engah setelah lari jarak jauh.
"Hey, kau mau minum?" tanyanya seraya menyodorkan botol air mineral padaku.
"Well, ya, thank's." kataku lalu menerimanya. Aku meneguk air hingga habis.
"Kau pasti lelah sekali." katanya.
"Ya, tapi aku harus melakukannya."
"Hm, aku mendukungmu, Alex. Omong-omong, kau baik-baik saja kan? Tidak ada yang mengganggumu, kan?" tanyanya penuh perhatian. Aku menggeleng.
"Aku baik-baik saja." kataku sedikit berbohong. Aku berbalik untuk menyembunyikan memar di lututku yang membentur tanah kemarin.
"Well, oke. Bersiaplah untuk kelas selanjutnya." katanya.
"Oke, sampai jumpa, Cam. Jaga dirimu." kataku.
"Pasti." katanya lalu mengacungkan dua jari seperti memberi hormat padaku. Aku tersenyum lalu kembali ke asrama.
[skip]
Cam terus mengunjungiku setiap aku selesai praktik. Dia jadi lebih memperhatikanku setelah dia melihatku dehidrasi pada hari ketiga. Ya, aku tidak berpura-pura, aku memang hampir pingsan karena kehausan. Aku sebenarnya ingin mencuri kesempatan untuk minum tapi Ethan menyuruhku mengikuti beberapa lomba tanpa henti, dan aku benar-benar pucat ketika selesai kegiatan. Mulai saat itu Cam lebih sering khawatir padaku. Dia bahkan menyuruhku menunggunya membeli beberapa makanan untukku. Dia juga sering mengucapkan kata "aku selalu mendukungmu" atau "cepatlah pulang, aku merindukanmu" atau apalah ketika kami bertemu di gerbang sekolah. Dia semakin bertingkah manis padaku.
KAMU SEDANG MEMBACA
TRUST (Book 1) // Ariana Grande & Justin Bieber
Fanfictionjangan baek baek ama orang, ntar lo cuma dibego-begoin :) #Wattys2016