CHAPTER 25

90 15 0
                                    

Aku menghabiskan hariku bersama Cam. Sudah hampir pukul 12 ketika dia mengajakku pulang. Tidak sampai di situ, kami masih melanjutkan obrolan melalui telepon hingga pukul 3 pagi. Aku bahkan tidak bisa memutus perbincangan kami semenit saja untuk berganti baju. Cam terus mengeluarkan topik-topik baru untuk dibicarakan, sampai akhirnya Grandma yang bisa menghentikan kami. Dia menyuruhku untuk tidur agar aku tidak kelelahan saat di sekolah. Sungguh, ini hal yang paling menyenangkan selama aku berada di sini.

Paginya, aku masih mengantuk karena aku hanya terlelap dua jam. Aku berulang kali hilang kesadaran di kelas, namun Lauren membangunkanku tepat ketika guru berpaling ke arah kami. Kantuk ini membuatku tidak fokus di sekolah. Aku bahkan nyaris menabrak pagar pembatas ketika pelajaran lari jarak pendek. Dengan bodohnya aku berlari zig-zag seperti orang mabuk hingga semua orang di lapangan menertawakanku. Sial. Aku tidak henti-hentinya diperolok di awal masa sekolahku.

Pulang sekolah, Cam menjemputku tanpa sepengetahuanku, lagi. Kali ini dia tidak mengendarai apapun. Dia duduk di bangku depan sekolahku dengan mengenakan kaus dan jeans, seperti yang biasa ia kenakan.

"Hai." sapanya ketika melihatku.

"Hai. Kau kemari." kataku.

"Well, ya. Aku mulai senang melakukan ini. Kau keberatan?" tanyanya.

"Tidak, aku senang." kataku. Cam tersenyum.

"Kita akan pulang dengan bus. Aku ingin merasakan naik bus denganmu." katanya.

"Kau aneh." kataku lalu tertawa.

"Sebenarnya sudah terlambat untukku meminjam motor, kau akan segera pulang, jadi aku pergi dengan bus." katanya.

"Cam, kau tidak perlu melakukan ini." kataku.

"Hm, mungkin ya, tapi biarkanlah aku melakukan apa yang aku inginkan." katanya. Aku mengusap rambut cokelatnya.

"Kau ini." kataku. Dia tertawa.

"Ayo pulang." ajakku. Cam berdiri lalu berjalan di sebelahku. Ketika kami hampir sampai di tempat pemberhentian bus, Shawn tiba-tiba muncul dan menghampiriku.

"Kau tidak bertanya padaku tentang peraturan Camp?" tanyanya.

"Camp?" tanyaku bingung.

"Kau harus mengikuti Junior Camp di tahun pertama, bodoh." katanya lalu menyerahkan sebuah booklet kecil berwarna perak.

"Baca ini, Camp dimulai besok lusa, kalau kelas kita gagal hanya karena kau, kau akan merasakan akibatnya." katanya lalu berlalu. Dia pergi tanpa mengucapkan apa-apa.

"Alex?" tanya Cam.

"Ah, ya?"

"Kenapa dia bersikap kasar kepadamu? Siapa dia?" tanya Cam memberondong. Aku hampir lupa dia berada di sampingku selama Shawn mengomeliku. Raut wajahnya berubah.

"Dia Shawn, dia yang menyuruhku mengenakan maskot saat aku masuk pertama kali." kataku.

"Ah, harusnya aku beri dia pelajaran." kata Cam seraya menengok ke belakang, berharap Shawn masih ada di jalan itu.

"Tidak perlu, Cam. Dia memang aneh, biarkanlah. Aku baik-baik saja." kataku lalu menggandeng tangan Cam.

"Katakan padaku kalau dia mengganggumu lagi." kata Cam. Dia masih menunjukkan wajah tegang.

"Pasti. Aku akan langsung mengadukannya kepadamu." kataku.

"Well, aku percaya padamu Alex."

"Baiklah."

"Hm, bagaimana dengan Camp itu?"

"Aku tidak terlalu mengerti, sejauh yang aku tahu aku akan tinggal di asrama selama Junior Camp berlangsung." kataku.

"Jadi, kau tidak akan pulang?" tanya Cam. Aku mengangguk. Dia terdiam sejenak.

"Hati-hati." katanya kemudian.

"Tak perlu khawatir, aku hanya tinggal di sekolah untuk lima hari." kataku.

"Hm, oke. Aku akan menjemputmu jika kau sudah selesai." katanya.

"Oke, terima kasih, Cam." kataku. Cam tersenyum.

[skip]

Aku membaca booklet Junior Camp yang diberikan Shawn tiga kali. Peraturannya benar-benar gila. Aku tidak boleh membawa makanan sendiri, atau minuman, bahkan ponsel! Mereka bilang acara ini benar-benar sakral dan harus terlaksana dengan baik atau kau (para peserta) yang gagal akan mengulang Junior Camp tahun depan yang lebih parah. Cam, yang aku telepon segera setelah aku membaca booklet itu, langsung mengomel. Dia bilang mereka hanya menakut-nakutimu, mereka menyuruhmu melakukan hal itu karena mereka tidak ingin ada yang melapor pada orang tua jika mereka melakukan hal buruk padamu. Aku bilang aku tahu, tapi aku tidak ingin terus-terusan dibully lagi jika aku ketahuan dan teman-temanku dihukum lalu jadi kalah hanya karena aku. Akhirnya, Cam memutuskan untuk sering-sering menemuiku jika dia punya waktu luang. Dia bersikeras ingin berada di dekatku kalau-kalau aku membutuhkannya.

TRUST (Book 1) // Ariana Grande & Justin BieberTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang