CHAPTER 17

144 18 0
                                    

"Alexis." panggil Dad ketika aku sampai di rumah Justin. Dia mendekapku erat, memberikan kecupan di keningku.

"Aku nyaris kehilanganmu." katanya.

"Aku tidak a-akan pernah meninggalkanmu, D-dad." kataku terbata karena kehabisan nafas.

"Jangan buat kami khawatir lagi, oke?" katanya. Aku mengangguk.

"Besok kita akan mencari rumah baru untukmu." kata Dad. Oh please Dad, seandainya kau bisa membaca pikiranku, aku tidak ingin tinggal di rumah apapun selain rumah Grandma saat ini.

"Ah, aku ingin tidur sejenak, aku akan membicarakan semuanya padamu nanti." kataku.

"Baiklah." kata Dad.

"Aku akan membawanyanya ke atas, kau tidak boleh membawa barang seberat ini." kata Justin (yang sedari tadi berdiri di belakangku dan Dad) seraya mengangkat koperku.

"Aku bisa membawanya, terima kasih." kataku seraya mengambil benda itu dari tangan Justin.

"Jangan memaksakan dirimu, Alexis. Kau belum sembuh total." katanya.

"Tak apa, sungguh." kataku lalu berjalan cepat ke tangga, menaiki setiap anak tangga yang menyiksa persendianku.

Aku memasuki kamar sialan itu lagi. Aku tidak tahu apakah mengumpat kamar orang lain itu legal, tapi aku tak peduli. Pada intinya aku tidak ingin berada di sini. Apalagi ditambah aroma pinus yang menyesakkan, yang selalu ada dan menggelitik hidungku. Aku kadang bertanya-tanya kenapa Aunt Patt suka aroma ini.

Oke. Kurasa ini semakin tidak masuk akal. Justin mengetuk pintuku 15 menit setelah aku masuk. Aku bilang padanya aku bersiap akan tidur. Dia bersikeras masuk tetapi aku tidak menghiraukannya. Sekarang dia melakukan hal terbodoh di dunia. Justin memanjat balkon kamarku dan mengintip melalui jendela. Sungguh, aku merasa seperti dikejar psikopat. Aku menutupi wajahku dengan bantal dan berpura-pura tidur. Akhirnya Justin turun.

Hal yang sama terjadi 30 menit kemudian, kali ini Justin duduk di balkon. Aku nyaris terguling ketika melihatnya tiba-tiba ada di sana. Aku langsung berbalik dan menarik selimutku menutupi wajahku. Sial, aku tidak akan bisa tidur nyenyak.

"Alexiiiiis." gumam Justin. Aku mendengarnya menyebut namaku 10 kali. Oh Tuhan.

"Berhentilah, kau membuatku tidak bisa tidur." kataku setelah membuka pintu. Aku terpaksa membukanya karena telingaku panas.

"Jangan marah." katanya.

"Aku tidak marah, aku hanya terganggu." kataku lalu berjongkok.

"Hm, baiklah, aku minta maaf." katanya seraya menyunggingkan senyum.

"Ayolah, bicarakan hal lain, aku bosan." kataku. Justin mendekatiku.

"Hm, aku tak punya topik pembicaraan. Tapi aku bisa mengajakmu jalan-jalan kalau kau mau." katanya.

"Ajaklah Grace, aku sedang tidak ingin pergi." kataku.

"Lupakan Grace, aku ingin bersamamu. Ayolah, Alex, hari ini semua tentangmu, tidak ada yang lain." katanya.

"Pfh, aku lelah." kataku.

"Aku punya beberapa film kalau kau mau menontonnya." katanya. Dia bersikeras menghabiskan sehari ini bersamaku.

"Tidak."

"Disney?"

"Tidaaak."

"Hmm, netflix?"

"Tidak. Tidak. Tidak."

"Ayolah, aku punya popcorn." bujuknya. Aku tidak menghiraukannya.

"Aku akan membawa semuanya ke kamarmu." kata Justin lalu berdiri, keluar melalui jalan yang benar. Aku tetap diam sampai dia masuk, membawa semua koleksinya (yang sepertinya sudah aku lihat lebih dari sekali). Dia menarikku ke dalam. Aku menjatuhkan diri ke tempat tidur. Justin memutar salah satu film kesukaanku dulu. Sebenarnya aku berniat meninggalkannya tidur, tetapi suara televisi terlalu ribut untuk membuatku terlelap.

"Kau masih suka kan?" tanyanya.

"Hmm." gumamku. Justin duduk di sampingku.

"Makanlah." katanya seraya menyodorkan popcorn padaku.

"Aku tahu kau mau." godanya. Aku mengambil beberapa lalu memakannya dengan ekspresi datar. Justin tetap tersenyum lebar padaku.

"Nah, anak pintar." katanya seraya menepuk dahiku.

"Diamlah." kataku.

"Oke, oke." katanya. Kami mulai menonton.

[skip]

"Alexis." kata seseorang. Aku terbangun, melihat Justin sedang memandangku dalam jarak beberapa sentimeter.

"Hm?" gumamku lalu bangun.

"Kau hanya melihat 1/4 bagian dari film." katanya.

"Oh ya? Maafkan aku." kataku.

"Tidak, tidak apa-apa, aku tahu kau lelah." katanya. Aku memandang mata hazelnya.

"Alex." panggilnya.

"Ya?"

"Ijinkan aku memelukmu." katanya.

"Ap-" kataku. Justin langsung mendekapku erat sebelum aku selesai bicara.

"Aku ingin kau memperhatikan setiap detail perbuatanku seperti dulu. Aku ingin kau mengomeliku tentang caraku makan, atau berjalan, atau apalah. Aku tidak ingin kau cuek padaku, Alex." katanya. Aku menghela nafas, menyandarkan daguku di bahunya.

"Aku tidak cuek, aku menganggapmu sudah dewasa, dan kau pasti bisa mengatur dirimu sendiri." kataku. Kita beranjak serius.

"Aku bisa, tapi aku tidak akan melakukannya dengan sempurna tanpamu. Dulu memang aku tidak menghiraukan omelanmu, tapi sekarang aku menyesal, aku melakukan perbuatan di luar nalar. Aku ingin kembali seperti saat kita bersama, Alex. Dan aku membutuhkanmu." katanya.

"Aku senang kau sadar, tetapi cobalah memperbaiki perbuatanmu sedikit demi sedikit, aku tahu kau bisa melakukannya. Katakanlah padaku kalau kau menemui masalah, aku akan membantumu di situ."

"Tapi aku tetap ingin bersamamu."

"Aku memang di sini, Justin. Aku tidak meninggalkanmu."

"Tapi aku merasa kau berusaha menjauhiku." katanya lalu melepas dekapannya.

"Justin, aku tidak bisa memungkiri kalau perasaanku belum sembuh total. Aku butuh waktu untuk mengembalikannya seperti dulu. Aku tidak meninggalkanmu, sungguh, aku bahkan sedang berusaha menyembuhkan diriku sendiri, agar kita bisa bersama lagi." kataku lalu memegang tangannya.

"Kalau begitu cepatlah, aku tidak tahan berada jauh darimu." katanya. Aku menghela nafas panjang.

"Kau ingin jalan-jalan denganku? Oke, aku akan bersiap." kataku lalu turun dari tempat tidur.

"Ah? Maksudku-"

"Kau ingin menghabiskam hari ini denganku, kan?" tanyaku. Justin menghampiriku.

"Sudahlah, tidak apa-apa, anggap saja tidak pernah ada ketegangan di antara kita." kataku seraya tersenyum.

"Alexis." kata Justin. Dia terisak tiba-tiba. Oh My God.

"Hey, kenapa kau menangis?" tanyaku. Lelaki ini rapuh, pikirku.

"Kembalilah seperti dulu. Kembalilah. Aku mohon. Jangan tinggalkan aku." katanya di sela tangisnya. Aku memeluknya.

"Dengarkan, aku sedang berusaha kembali. Oh My God, Justin, jangan berpikir macam-macam. Aku tidak ingin kau sakit." kataku. Justin balas memelukku erat, dia tidak bisa berkata apapun.

"Sudah, hapus air matamu, kita akan jalan-jalan, oke. Akan kuceritakan hal-hal yang menyenangkan untukmu." kataku.

"Biar aku yang melayanimu kali ini." kataku lagi lalu mengusap air mata Justin.

TRUST (Book 1) // Ariana Grande & Justin BieberTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang