"Mary?" panggil Cam. Dia juga terkejut sepertiku.
"Kenapa kau mematikan teleponmu? Kau tahu, aku sudah menunggumu sejak tadi." tanyanya kesal.
"Aku tidak tahu. Aku tidak bisa mendengar apa yang kau katakan." kata Cam seraya berdiri.
"Tapi tidak berarti kau bisa memutuskan telepon begitu saja." balasnya.
"Sudahlah. Ini tidak penting. Sekarang apa yang kau mau?" tanya Cam. Mary diam seraya melihatku dengan tatapan "pergilah, aku ingin bicara berdua dengannya".
"Uh, kurasa aku akan menunggu di depan kamar Justin. Bye, Cam." kataku seraya berdiri.
"Tidak, tunggulah di sini." kata Cam.
"Hm, beberapa menit lagi aku boleh masuk." kataku tak yakin lalu bergegas meninggalkan ruang tunggu. Cam sempat mencegahku sebelum akhirnya aku bilang aku juga ingin ke toilet.
Kenyataannya, aku tidak pergi ke toilet. Aku memperlambat langkahku dan berharap bisa mendengar pembicaraan Mary dan Cam (karena aku benar-benar kepo). Namun suara-suara dari meja resepsionis di dekatku membuat suara mereka lenyap. Akhirnya, aku duduk di kursi di sebelah ruang tanpa nama yang kurasa dipakai Justin untuk meneleponku waktu itu.
Aku menunggu seraya mencoba menelepon Mom lagi. Tetapi tidak ada jawaban. Begitu pula Dad. Kurasa mereka kehilangan sinyal atau tertangkap polisi karena memutuskan telepon anaknya atau apa.
Tidak. Aku bercanda.
Aku benar-benar kesepian di tengah keramaian, namun pikiranku melayang kemana-mana. Aku bahkan sempat memikirkan Matthew yang mungkin sedang menggoda wanita lain di sekolah, atau Jennifer yang masih rajin latihan memanah setiap dua minggu di hari Sabtu sore bersama ayahnya, dan juga muka komentator favoritku dalam lomba lari.
Aku juga terngiang kata-kata Dad saat dia mengomentari lariku yang selambat kura-kura. Saat dia memanggilku Lexie dengan nada yang menyebalkan. Dan saat dia berangkat bersamaku ke Los Angeles.
"Permisi." kata seseorang. Aku terlunjak dengan ekspresi yang berusaha kututupi. Seorang perawat berdiri di depanku dengan wajah yang sangat ramah.
"Ya?" jawabku sama lembutnya dengannya.
"Kurasa kau bisa duduk di ruang tunggu yang lebih hangat." katanya.
"Ah, ya. Aku sedang menunggu jam bezuk berikutnya di sini." kataku.
"Tapi, tidakkah lebih baik kau menunggu di dalam?"
"Uh, temanku sedang bicara secara pribadi dan aku tidak ingin mengganggu mereka." kataku jujur akhirnya.
"Oh, baiklah kalau begitu. Kau boleh masuk sebentar lagi. Aku akan memberitahumu kalau sudah waktunya." katanya dengan senyum terpancar di wajahnya yang pucat sepertiku.
"Baiklah. Terima kasih."
"Sama-sama." katanya lalu pergi. Aku kembali sendirian di lorong itu. Aku mengetuk-ngetukkan kakiku ke lantai untuk membuat suara. Tiba-tiba aku mendengar suara dentuman pelan dari dinding tempat aku bersandar. Aku melihat dari jendela kecilnya, namun tidak ada apa-apa. Aku berusaha mengabaikannya dan kembali sibuk dengan imajinasiku.
[skip]
"Kau boleh masuk sekarang." kata perawat tadi menepati janjinya.
"Baik, terima kasih sudah memberitahu." kataku. Aku bergegas menuju ruang inap Justin. Namun sepersekian detik setelah aku masuk, aku tidak melihat Justin di ranjangnya. Aku mengibaskan tirai di ranjang-ranjang yang lain namun tidak menemukannya. Aku mulai panik, namun aku terus mencari, bahkan ke bawah ranjang.
Tidak ada.
Aku keluar ruangan Justin. Mataku menyusuri setiap tempat dan akhirnya tertuju pada ruangan tanpa nama tadi. Pintunya sedikit terbuka. Aku tidak tahu apa yang terjadi selanjutnya hingga aku sadar aku sudah berada di ambang pintu. Aku memicingkan mata untuk mengintip ruangan tersebut. Aku akhirnya menemukan sepasang kaki yang janggal menyembul. Aku mendorong pintu perlahan tanpa sadar.
Dan akhirnya aku melihat Justin. Justin. Ya, Justin. Dia terduduk di dekat pintu. Tepat membelakangiku jika aku masih duduk di kursi tadi.
"Justin?" panggilku. Dia menatapku dengan terkejut. Kukira dia akan mengusirku namun dia malah menarik tanganku. Aku ikut terduduk di sebelahnya.
"Sst. Alex." katanya seraya menempelkan telunjuk di bibirnya.
"Apa? Apa yang terjadi?" tanyaku pelan.
"Alexis, kau benar-benar harus pulang. Mereka akan membunuhmu!" katanya tegang. Aku terkejut.
"Apa maksudmu?" tanyaku bingung.
"Perempuan itu, dia mengajaknya membunuhmu." kata Justin.
"Perempuan siapa? Temanku? Cam? Apa yang kau bicarakan?" tanyaku lagi.
"Aku mendengar mereka membicarakanmu. Dia ingin membunuhmu tetapi temanmu tidak setuju. Lalu dia ingin merampas sesuatu darimu. Aku tidak tahu. Aku tidak bisa mendengarnya." Justin gemetar. Tubuhnya panas hingga aku bisa merasakannya dari jarak beberapa inci.
"Kau sebaiknya masuk ke kamarmu, Justin. Kau masih terlalu lemah untuk bergerak." kataku.
"Alex, percayalah padaku! Aku tidak sedang mabuk." katanya dengan nada meninggi.
"Justin, Justin, kuantarkan kau ke kamarmu." kataku lalu menariknya berdiri.
"Alexis, ini sungguhan." katanya. Suaranya melemah lalu ia terbatuk-batuk. Dia berusaha meyakinkanku lagi namun aku benar-benar tidak tahu apa yang dia katakan. Aku menggandengnya ke kamar dan merebahkannya di ranjangnya. Ia masih tetap mengatakan hal yang sama setelah aku menyelimutinya.
"Alex, pulanglah. Selamatkan dirimu."
KAMU SEDANG MEMBACA
TRUST (Book 1) // Ariana Grande & Justin Bieber
Fanfictiejangan baek baek ama orang, ntar lo cuma dibego-begoin :) #Wattys2016