CHAPTER 35

93 15 2
                                    

Baiklah, sudah cukup aib yang kuceritakan padamu. Sekarang, aku dan Cam memasuki gedung bercat serba putih itu. Aku menanyakan letak kamar Justin lalu bergegas mencarinya.

"Kau sedikit pucat, kau tak apa?" tanya Cam tiba-tiba. Kurasa dia telah lama memperhatikanku.

"Hm, aku hanya tidak senang dengan rumah sakit." kataku jujur. Dia merangkulku.

"Semakin cepat kau bicara dengannya, semakin cepat kita keluar. Ayo." katanya menyemangatiku. Aku tersenyum paksa.

"Nah, kita sampai. Kau mau aku menemanimu?" tanyanya.

"Ah, aku akan masuk sendiri. Tunggulah di sini." kataku.

"Baiklah." katanya lalu tersenyum. Aku membalasnya lalu menuju ke pintu. Aku masuk dan mendapati Justin yang terbaring sendirian. Ya, dia benar-benar sendiri. Hanya ranjangnya yang terisi dari tiga ranjang di sana.

"Alexis!" sapanya girang.

"Hai." jawabku seraya menyunggingkan senyum tertulusku. Dia berusaha bangkit dari ranjangnya, namun aku menyuruhnya untuk tetap berbaring. Dia kelihatan lelah dengan infus yang menancap di tangannya. Kupikir dokter sudah memperingatkannya.

"Aku sangat merindukanmu." katanya. Aku mengusap keningnya yang hangat.

"Ya, aku juga." jawabku. Justin langsung menggenggam erat tanganku di dadanya. Aku menatap wajah pucatnya yang berubah berbinar ketika aku datang. Aku jadi merasa buruk, ulu hatiku nyeri seketika. Sungguh, aku ingin menangis.

"Justin." panggilku. Aku menarik kursi lalu duduk di sampingnya.

"Ya." jawabnya.

"Aku ingin... minta maaf." kataku akhirnya. Aku tidak tahu apa yang ingin aku katakan untuk memulai. Aku tidak bisa berpikir jernih ketika melihat Justin terbaring lemah. Dia jarang sakit, dan sekalinya dia sakit, aku tetap akan panik dan over-protektif sekalipun aku sedang marah padanya. Itu merupakan kebiasaan yang tidak bisa aku hilangkan sampai saat ini.

"Minta maaf?" tanyanya.

"Ya, aku bertingkah sangat lancang di hadapanmu. Aku menyesal. Aku sangat jalang sampai-sampai aku menyakitimu, padahal-"

"Hey, hey, jangan berkata begitu." katanya. Aku ingat, Justin tidak suka kalau aku menjelek-jelekkan diriku sendiri di depannya.

"Maafkan aku." kataku. Dadaku jadi sesak dan mataku berair.

"Alexis, kau tidak bersalah padaku. Jangan membebani dirimu sendiri. Aku tidak ingin melihatmu tertekan." katanya. Aku menundukkan kepalaku, membuat darah terkumpul di dahiku. Air mataku mengalir  deras. Untuk yang kesekian kalinya, aku menangis untuk hal yang sederhana.

"Oh My God, aku tidak seharusnya bersedih. Aku harusnya menghiburmu. Ah, maaf Justin." kataku setelah terdiam cukup lama. Aku cepat-cepat mengapus air mataku. Seketika, aku menyadari kalau Justin telah menatapku iba sejak tadi. Dia masih menggenggam erat tanganku dan membuatku merasa malu.

"Alexis, aku tidak tahu apa yang harus kulakukan untuk membuatmu bahagia selamanya. Tapi aku benar-benar benci melihatmu menangis." katanya. Hatiku terasa dihantam benda berat ketika mendengarnya.

"A-aku tidak akan menangis lagi. Sungguh." kataku.

"Oh, Tuhan." desahnya.

"Justin, Justin, aku janji aku tidak akan menangis, aku mohon maafkan aku, maafkan aku." kataku panik.

"Alex, sweet, aku sangat bersyukur kau masih sangat peduli padaku. Sampai kau berusaha untuk tidak menangis lagi demi aku. Tapi aku tidak egois, aku tahu tidak mudah untuk tetap tabah, terutama untuk wanita sepertimu. Namun di sisi lain, aku merasa buruk ketika melihatmu menangis, aku merasa tidak bisa menepati janjiku padamu dulu. Aku merasa tidak bisa menjaga hatimu." katanya. Aku diam, mengulang-ngulang kata-kata Justin dalam pikiranku.

"Ini salahku, aku terlalu mudah menangis." kataku akhirnya.

"Dan aku yang membuatmu menangis." katanya. Aku menggeleng-geleng seraya menatapnya.

"Tidak, bukan kau, Justin. Aku mohon jangan menyalahkan dirimu. Ini bukan salahmu." kataku. Panikku meningkat hingga tanganku gemetar.

"Nah, kau dan aku, kita sama. Aku merasa ini salahku, dan aku tidak ingin kau menyalahkan dirimu. Begitu pula sebaliknya. Jika kita terus memperdebatkan itu, masalah tidak akan selesai dan aku hanya akan terus membuatmu menangis. Aku akan semakin benci pada diriku sendiri dan kau juga. Kita tidak akan menemukan jalan keluar." katanya.

"Oke, oke, baiklah, aku akan melupakan masalah ini dan kau juga. Kita akan memulai hari yang baru, masa yang baru, dan-"

"Dan aku akan membuat masalah baru." kata Justin. Aku menatapnya terkejut.

"Kenapa kau bilang begitu?" tanyaku.

"Alex, akan selalu ada masalah-masalah baru dalam hidup kita. Dan kita akan mengulanginya lagi dan lagi, seperti siklus. Akan muncul masalah, kita akan merasa bahwa masalah itu disebabkan oleh kita masing-masing, kita akan berdebat, hingga melupakan masalah itu, lalu akan muncul masalah baru." katanya.

"Justin, aku hanya ingin mengembalikan hubungan baik kita." kataku dengan suara serak.

"Terlebih aku, Alexis. Aku sangat-sangat ingin kau berada di sampingku setiap waktu, seperti dulu. Aku sangat ingin. Sangat ingin, Alex." katanya berulang-ulang. Menegaskannya padaku.

"Tapi aku sadar kita tidak akan mewujudkannya." katanya lagi.

"Aku datang untuk mewujudkannya, Justin. Aku tidak akan masuk ke tempat ini jika bukan karena kau. Aku berusaha berdamai." kataku lagi. Air mataku memaksa untuk keluar tetapi aku menahannya. Justin melepaskan genggaman tangannya.

"Aku rasa lebih baik aku pergi, Alex. Aku hanya menjadi parasit dalam hidupmu." katanya. Aku sangat terkejut. Aku tidak bermaksud untuk menghilangkan dirinya sepenuhnya dari hidupku.

"Tidak, jangan, Justin. Oh Tuhan, apa yang kau katakan?" tanyaku. Berharap Justin sedang bercanda untuk menghiburku. Aku menunggunya bicara namun dia diam saja. Tiba-tiba, pintu kamar terbuka, seorang perawat mengatakan kalau jam bezuk telah selesai. Aku memintanya untuk memberiku waktu sebentar namun dia tidak mengijinkanku.

"Justin, tolong jangan tinggalkan aku, kita bisa bicarakan ini baik-baik."

"Aku akan menunggumu sampai jam bezuk berikutnya." kataku sebelum perawat mendorongku keluar. Aku tidak menyangka Justin akan berkata begitu. Aku rasa dia sedang emosi karena aku selalu menangis di depannya. Aku bodoh. Aku bodoh.

TRUST (Book 1) // Ariana Grande & Justin BieberTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang