CHAPTER 7

141 21 0
                                    

Dad memberiku hari tenang sebelum lomba, bahkan aku tak boleh menyiapkan seragam lariku sendiri. Dad benar-benar mengambil alih semuanya. Aku cukup senang Dad menemaniku seharian sambil memotivasiku, paling tidak ada hal lain yang bisa dilakukan selain memikirkan Adegan Dewasa Justin ( kusingkat ADJ mulai saat ini ).

Aku tidur awal dengan obat tidur yang diberikan Dad, ini pertama kalinya dia mengijinkanku minum pil-hitam-kecil yang lebih terlihat seperti poop hamsterku yang sudah mati.

Aku bangun pukul 3, seperti biasa, lalu bersiap. Aku menyembunyikan seragam lariku di balik jaketku. Dad dan aku sarapan lebih awal dari Justin dan Aunt Patt (Mom Justin). Sebelum berangkat Aunt Patt memelukku dan memberi semangat, tapi aku tak mengijinkan Justin memelukku juga. Aku hanya menjabat tangannya sambil tersenyum lebar. Setulus mungkin.

"Aku akan menontonmu dari baris depan." katanya.

"Ah, kedengarannya bagus, aku tak siap ingin segera lari." kataku. Lari dari kenyataan.

"Berlarilah untukku." katanya.

"Tentu." kataku lalu pamit. Aku dan Dad bergegas berangkat dengan mobil yang disediakan panitia musim lariku dari Montreal (aku bertaruh dia mengeluarkan banyak uang untuk ini).

Belum banyak peserta yang datang ketika kami sampai. Aku mengamati wajah-wajah beberapa peserta yang telah siap. Cukup menantang, pikirku. Aku mendapat nomor urut 5, dan kau tahu, hal yang pertama aku pikirkan adalah apakah aku siap melihat Justin menyorakiku dari jarak dekat (karena lintasanku hanya berjarak sekitar satu meter dari penonton). Ah, lupakan.

Jam 8 tepat kami dipanggil ke lapangan. Seperti lomba-lomba sebelumnya, kami dijelaskan mengenai peraturan lari hingga pengumuman pemenang. Berbeda dari biasanya, aku cukup gugup hari ini. Aku terus berusaha merilekskan kakiku yang mulai goyah.

Tembakan pertama, bersedia.

Tembakan kedua, siap. Jantungku berdegup kencang.

Tembakan ketiga, aku langsung lari secepat mungkin. Di sini aku bersyukur aku punya tubuh kecil. Aku bahkan sempat memikirkan cara lawan-lawanku yang terbilang gemuk untuk berlari kencang.

Putaran pertama berhasil.

Putaran kedua berhasil.

Putaran ketiga, seorang lawanku yang berada di sebelahku memotong jalurnya dan masuk ke lintasanku. Dia menabrakku dan aku terjungkal, mendaratkan lututku pada area berkerikil di samping lintasan. Aku merasakan tututku membara.

Teriakan Dad menyadarkanku. Tanpa pikir panjang aku kembali berdiri dan berlari sekuat tenaga. Aku melewati dua lawanku dengan cukup mudah. Kurang satu lawan sebelum finish.

Aku berlari secepat mungkin dengan lutut berdarah. Tinggal beberapa sentimeter lagi. Aku mempercepat lariku, tapi tiba-tiba aku terjatuh, membuat pita finish melilit tubuhku. Dia menendang kakiku! Lawanku menendang kakiku! Ini pelanggaran.

Aku baru saja ingin protes ketika pluit dibunyikan.

"Diskualifikasi bagi Greg, peserta nomor urut 4!" kata panitia. Aku terkejut. Pemenang langsung diumumkan.

"Alexis Campbell dari Montreal menang!" kata kedua komentator serempak. Oh My Godness.

Rasa sakit di lututku digantikan dengan kebahagiaan yang tak bisa kuutarakan. Penonton bersorak. Dad, Justin, dan Aunt Patt menghampiriku bersamaan dengan petugas medis. Akhirnya aku dipindah ke ruang perawatan dengan membawa trofi kemenanganku. Kupikir ini menjadi kemenangan teraneh dalam sejarah LA.

"Aku benar-benar menang." kataku tak percaya.

"Ya, Alexis. Kau memenangkannya." kata Dad lalu memelukku. Aku menangis bahagia di pelukan Dad.

"Terima kasih kalian tidak menyerah padaku." kataku.

"Aku tak akan menyerah pada orang sehebat kau." kata Justin. Kali ini aku benar-benar tersenyum tulus padanya.

"Selamat, sayang." kata Aunt Patt. Aku menggenggam tangannya dan berterima kasih.

"Sekarang istirahatlah dahulu, aku akan menemui official." kata Dad.

"Baiklah." kataku.

"Dan aku akan membeli makanan untuk kita nanti. Justin, jagalah Alex." kata Aunt Patt.

"Oke, Mom." kata Justin.

"Aku bangga padamu." kata Justin ketika kami tinggal berdua.

"Thank's. Kau memotivasiku selama ini." kataku. Sebenarnya aku tak yakin dengan apa yang kukatakan, bisa dibilang Justin menurunkan sekitar 40% semangatku menjelang lomba gara-gara ADJ.

"Tidurlah, rilekskan kakimu." katanya.

"Baiklah, terima kasih, Justin." kataku.

"Oke." katanya.

Aku setengah terlelap ketika aku merasakan kecupan di dahiku. Samar-samar aku mendengar suara Justin.

"Maafkan aku." katanya pelan. Aku terlelap sekitar dua detik kemudian.

TRUST (Book 1) // Ariana Grande & Justin BieberTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang