CHAPTER 34

70 12 2
                                    

Aku dan Cam berangkat ke rumah sakit. Kami melewati jalanan yang tertutup salju tebal dengan susah payah. Sialnya, kami sempat terjebak di tengah jalan karena mesin motor Cam mati tiba-tiba. Dan butuh waktu 15 menit untuk kami mendorongnya ke tepi. Setelah itu, kami memutuskan untuk berhenti dan membeli minuman untuk menghangatkan badan. Aku meneguk minuman hangat itu banyak-banyak karena tubuhku terasa sangat dingin. Beberapa saat kemudian, Cam bilang dia akan memaksa motornya melaju agar kami cepat sampai. Akhirnya, sekitar 45 menit yang melelahkan, aku melihat gedung rumah sakit itu. Aku kedinginan dan mual ketika turun dari motor Cam.

Sungguh, aku benci ini. Aku benci rumah sakit. Ini pertama kalinya aku mau memasuki rumah sakit setelah trauma yang kudapatkan ketika aku kecil. Biar kuceritakan.

Saat itu umurku 7 tahun. Aku menderita penyakit yang mereka sebut "amandel akut yang membuatmu tidak bisa makan selamanya kalau kau tidak dioperasi". Aku tidak bercanda. Dokter paruh baya-yang punya muka menyebalkan-itu selalu mengatakan frasa itu untuk menakutiku agar aku mau dioperasi. Namun aku tetap bersikeras untuk tidak memenuhi ancamannya (aku menyebutnya begitu karena itu lebih dari sekedar bujukan).

Kebulatan tekadku itu membuatku tidak masuk sekolah hampir sebulan. Guru-guru sekolah dasarku mencemaskanku dan dengan bodohnya mereka datang berbondong-bondong ke kamarku di rumah sakit-yang seharusnya tidak mereka lakukan karena itu sangat mengganggu kenyamananku. Wali kelasku bahkan mengancam untuk membuatku tidak naik kelas jika aku tidak segera mau dioperasi. Sial. Awalnya aku tetap kukuh, namun guru itu mengingatkanku tentang nilai-nilai pelajaran Matematikaku yang tidak terlalu bagus semester lalu, dia bahkan sempat mengajakku untuk merenungkan bagaimana jika aku tidak segera meningkatkan nilaiku, bagaimana kelanjutan studiku di sekolah, bagaimana masa depanku, dan lain-lain. Dan itulah yang menjadi titik balikku. Aku mau dioperasi karena aku bosan mendengar ceramah guruku.

Oke, cukup, sekarang aku akan menceritakan nasib burukku selama di rumah sakit, yang membuatku trauma. Siang itu, dokterku mengumandangkan bahwa aku akan dioperasi pukul 4 sore. Namun, kenyataannya aku baru masuk ruang operasi pukul 5 sore. Aku harus menunggu satu jam dalam ketakutan dan kebosanan (karena di satu sisi aku tidak ingin operasi, tetapi di sisi lain aku ingin segera operasi). Dan itu sangatlah menyiksa.

Tidak sampai di situ saja. Ketika aku masuk, aku baru sadar kalau ruangan operasi itu baru saja dipakai untuk mengoperasi pasien sakit usus buntu. Seorang asisten dokter memindahkan alat-alat penuh darah yang baru dipakai dari meja operasi dan memungut apendiks orang sebelumku yang ditaruh di sebuah cawan. Aku hampir muntah ketika aku melihat potongan daging manusia itu.

Selanjutnya, aku berhasil menenangkan diri. Bau anyir berubah menjadi netral sesaat setelah darah-darah dibersihkan. Aku berbaring seraya menunggu dokter mempersiapkan anestesi. Aku meregangkan otot-otot tanganku dengan meninjukannya ke udara. Setelah beberapa saat, dokter bilang kalau dia siap. Dia menyuntikkan obat bius padaku, yang membuatku tidak sadarkan diri lima detik kemudian.

Pasca operasi, aku terbangun di kamarku. Aku sangat bersyukur karena aku tidak kena sial saat diberi tindakan dokter. Menit-menit pertama setelah aku sadar, aku masih merasa nyaman. Aku bahkan tidak percaya kalau amandelku telah hilang. Namun, setelah beberapa saat, tenggorokanku terasa perih dan panas karena obat bius habis. Aku berusaha memberi tahu Mom yang sedang membaca koran di sebelahku, namun aku tidak bisa bicara. Aku melambai-lambaikan tanganku, namun koran sialan itu menutupi pandangan Mom. Aku menendang-nendang selimutku namun Mom tidak sadar. Aku berusaha menggapai-gapai meja di sampingku agar aku bisa memukulnya, namun tidak sampai. Dan sialnya lagi, Mom baru sadar ketika aku sudah terkapar lemas dan tidak bisa merasakan apa-apa karena leherku terlalu sakit. Dia langsung memanggil dokter dan menceramahiku "seharusnya kau beri tahu Mom sejak tadi agar Mom bisa menolongmu". Bitch, please.

Terakhir, ketika aku sedang dalam masa pemulihan. Seorang perawat menyuntikkan sesuatu padaku. Aku menurut saja ketika dia melakukannya. Tetapi beberapa jam kemudian, lengan tempat suntikan itu membengkak. Dokter segera memeriksanya, dan kau tahu, ternyata perawat salah menyuntikkan zat padaku! Aku memaki-makinya dalam hati, memandangnya sinis ketika dia meminta maaf padaku dan Mom, layaknya anak 7 tahun. Oh, Tuhan, beruntung saja zat itu tidak membunuhku, dan bengkak di lenganku hanya bertahan 3 hari.

Ya, kurasa itulah yang membuatku trauma untuk datang ke rumah sakit hingga sekarang. Aku selalu mendapat perlakuan yang tidak mengenakkan bahkan ketika aku tidak menjadi pasien. Suatu hari, aku pernah dipaksa masuk ke ruang perawatan karena mereka mengira aku adalah pasien dengan gelaja anoreksia. Aku terkejut dan hampir membentaknya karena aku emosi. Namun aku berhasil menahannya dan menjelaskan kalau aku baik-baik saja, dan aku hanya sedang mencari kamar kecil.

TRUST (Book 1) // Ariana Grande & Justin BieberTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang