CHAPTER 41

153 13 1
                                    

Orang-orang terdekatku terus berusaha memberikan dukungan dan kekuatan padaku. Di satu sisi hal ini membuatku tenang, namun di sisi lain aku merasa gerah. Seperti yang kau tahu, kau akan mual jika kau terus memakan makanan manis. Sama halnya jika kau terus menerima perkataan manis dari orang-orang, kau akan mual juga.

Kau hidadapkan pada pihak yang mendukungmu, yang selalu berkata semuanya akan menjadi normal kembali, namun kau tahu kalau definisi normal yang baru berbeda dari normal yang dulu. Kau hanya akan membalas dukungan itu dengan tanggapan yang sama manisnya, lalu kau akan merasa palsu akhirnya. Kalau kau tahu maksudku.

Oke, lupakan saja kalau kau tidak mengerti. Sekarang fokus ke apa yang akan aku ceritakan. Hari ini h-4 kepulanganku, dan aku akan memberitahu Justin secara langsung. Aku sengaja menunggu salju di jalan dibersihkan agar aku bisa melewatinya dengan mudah. Aku juga sengaja tidak memberi tahu Cam agar dia tidak bersikeras mengantarku. Aku berangkat sekitar pukul 10 dengan bus yang untungnya sudah mulai beroperasi lagi. Dan akhirnya, aku sampai di rumah sakit pukul 11.

Aku bergegas menuju kamar Justin kemudian mengetuk pintunya. Ternyata ia tengah tertidur pulas di ranjangnya. Aku menghampirinya perlahan, lalu duduk di sebelahnya, persis seperti ketika dia terlelap di bawah pengaruh anestesi waktu lalu. Namun, kali ini sedikit berbeda. Aku sangat lega melihat wajahnya yang lebih segar dari sebelumnya, tulang rahangnya yang terlihat tidak menonjol lagi, yang menandakan kalau dia lebih gemuk. Kurasa dokter telah memberinya suplemen atau apa supaya dia mau makan.

Aku mengaitkan tangan kananku di tangan kanannya, dan mengusap keningnya dengan tangan satunya. Aku tidak berhenti menatap dadanya yang naik turun dengan irama normal. Aku tidak tahu. Aku sedikit merasa parno apabila tiba-tiba Justin berhenti bernafas, atau elektrokardiografnya menunjukkan garis lurus, atau pertanda kematian.

Ah, itu tidak boleh terjadi.

"Alexis?" kata Justin. Dia terbangun. Aku hampir melepas tanganku dari keningnya karena aku takut dia masih kesal padaku. Namun Justin malah menarikku hingga aku jatuh di pelukannya.

Sungguh, aku sedang tidak dramatis.

Dia mencium keningku dan mendekapku seraya meremas rambutku yang terurai, seakan dia baru menemukan orang yang ia cari-cari. Dia tidak berhenti mendekapku, dan dia juga tidak mengucapkan sepatah katapun sampai aku memulainya.

"Kau kelihatannya sudah lebih baik." kataku.

"Aku ingin bicara padamu." katanya mengganti topik pembicaraan. Aku langsung teringat tentang pembunuhan itu.

"Bicaralah, aku akan mendengarkan." jawabku. Kurasa dia sudah bisa bicara dengan lebih jelas dan terstruktur dari kemarin.

"Saat kau keluar dari ruangan ini setelah jam bezuk habis, aku keluar dan menuju ruangan tanpa nama itu. Aku duduk di sana karena kupikir tempat hening itu akan membuatku lebih tenang. Tapi aku salah. Aku baru akan keluar ketika aku mendengar suaramu, Alex. Kau menolak untuk masuk ruang tunggu karena temanmu sedang bicara pada wanita itu. Di sisi lain ruangan aku bisa mendengar apa yang mereka bicarakan. Aku merangkak lebih dekat agar aku bisa mendengar dengan jelas. Awalnya aku tidak curiga karena mereka membicarakan tentang tugas sekolah, namun pembicaraan berubah ganjal ketika wanita itu bilang kalau dia tidak suka padamu dan dia ingin membunuhmu. Kurasa lelaki itu terkejut dan memarahi wanita itu. Aku bisa mendengar dia sempat membentaknya. Mereka berdebat panjang dan wanita itu tetap bersikeras ingin menyingkirkanmu. Dia ingin merampas apapun yang kau sayangi. Namun payahnya, aku tidak bisa mendengar kelanjutannya. Suara orang lain semakin gaduh dan aku hanya bisa mendengar kata "bunuh dia" di akhir pembicaraan." jelas Justin panjang lebar. Aku baru saja akan membuka mulut ketika dia melanjutkan.

"Kuharap kau percaya, Alex. Aku tidak membohongimu dan ini benar-benar kudengar sendiri dari mereka." katanya. Aku terdiam, berusaha mencerna cerita Justin.

"Ya, aku percaya kau berkata jujur. Tapi apa yang aku lakukan hingga Mary akan membunuhku? Apa yang tidak dia suka dariku?" tanyaku kemudian.

"Aku tidak tahu. Aku terguncang ketika mendengar namamu disebut berulang kali. Pikiranku buyar dan aku tidak tahu harus melakukan apa. Kata-katanya terus terngiang sampai akhirnya kau menemukanku." katanya.

"Hm, baiklah Justin. Aku telah mendengar semuanya darimu. Sekarang, yang belum bisa aku terima adalah kenapa aku disangkutpautkan. Aku tidak melakukan apapun padanya."

"Kurasa dia cemburu." kata Justin. Ia menatapku aneh, seakan dia memberiku kode kalau dia juga cemburu padaku dan Cam.

"Aku tidak menjalin hubungan dengannya, bagaimana Mary cemburu."

"Kau terlihat sangat mesra." katanya. Sebagian dari Justin memihak Mary. Aku merenung.

"Ya, kami memang terlihat sangat dekat, tapi kami tidak punya hubungan." kataku.

"Aku pikir dia mendekatimu hanya untuk memanfaatkanmu." kata Justin. Aku sedikit tidak terima, namun aku mengurungkan niat untuk membalasnya karena aku tidak seharusnya menyakiti orang sakit.

"Tidak." kataku singkat. Justin diam seraya menatap selimutnya. Aku menenangkannya dengan menepuk-nepuk bahunya. Aku menunda untuk memberitahu kepulanganku karena dia masih sedikit emosi.

"Jangan terlalu khawatir." kataku. Tiba-tiba ponselku berbunyi. Aku mendapat telepon dari Grandma. Aku meminta ijin pada Justin lalu segera mengangkatnya.

"Halo." kataku.

"Alex, aku melihat dua mobil polisi di depan rumah Cam. Mereka menangkapnya dengan tuduhan perampokan dan penganiayaan. Aku berusaha mencegah mereka namun polisi itu segera pergi." katanya.

Aku terpaku. Cam? Melakukan tindak kriminal? Merampok? Menganiaya?

"Halo? Kau masih di sana, Alex?" tanya Grandma. Pikiranku kosong seketika.

Halo?

Jawablah aku, Alexis.

TRUST (Book 1) // Ariana Grande & Justin BieberTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang