CHAPTER 3

166 23 0
                                    

Dad membangunkanku pukul 3 untuk lari lagi hari ini. Tapi Dad tak akan menemaniku karena pekerjaannya belum selesai. Dia meminta seseorang untuk menggantikannya. Dan kau tahu, aku hampir tersedak susu sialan yang kuminum ketika aku melihat Matt berdiri di ruang tamu sambil tersenyum bangga.

"Dad benar-benar menyuruh Matt menemaniku?" tanyaku tak percaya. Matthew Espinosa, senior lariku yang paling menyebalkan.

"Sebenarnya Matt yang menawarkan diri." kata Dad, diikuti anggukan Matt.

"Oh, please. Aku bisa lari sendirian, Dad." kataku.

"Aku tak akan rela kalau kau tertabrak truk susu." kata Dad, Matt terkikik pelan. Aku hanya menghela nafas.

"Pfh. Oke, bye, Dad." kataku lalu berjalan melewati Matt. Dia memberikan tatapan nakal padaku.

"Berhentilah bersikap genit." kataku ketika kami sudah di luar jangkauan Dad untuk mendengar percakapan kami.

"Aku tak genit padamu, kok." katanya lalu mencubit lenganku.

"Kenapa kau menawarkan diri untuk menemaniku?" tanyaku.

"Hmm, sebenarnya aku ingin bicara padamu." katanya.

"Apa?" tanyaku.

"Ehm, kudengar Justin pindah ke LA." katanya.

"Ya, dia pergi dua hari lalu."

"Jadi, kau sendiri sekarang." katanya. Aku cukup tersinggung dengan kata "sendiri" itu.

"Maksudmu?" tanyaku, walaupun aku mengerti dia akan berusaha membujukku menjadi pacarnya lagi. Biar kuceritakan, Matt pernah menyatakan kalau dia suka padaku saat aku kelas enam. Bisa kau bayangkan, aku ditembak oleh seorang anak kelas delapan terpayah di dunia, setelah lomba lari musim semi. Aku tak bisa mencerna kata-katanya yang lebih kedengaran seperti orang tersedak, ehm-aku-ehmmmm-aku-uh-sebenarnya-bshdhdhdn-aku-aku-suka-pada-jsjdusnkwk-jadilah-uh-pacarku. Dan dengan jelas aku menolaknya sehari kemudian. Aku tak berusaha menyakiti perasaanya, tapi aku memang tak suka padanya. Aku lebih memilih tertabrak truk susu daripada menjadi pacarnya.

"Maksudku, aku sekarang bebas bicara padamu." katanya. Jelas sebuah kebohongan. Dia tak akan sekedar ngobrol denganku, dia pasti akan melakukan semua hal untuk menjadi pacarku. Bukannya aku terlalu percaya diri, tapi memang itu kenyataannya. Dia pernah mengirimku sekitar dua puluh sms dalam sehari hanya untuk mengajakku ke bioskop.

"Maaf, tapi aku ingin fokus latihan. Aku akan bicara padamu nanti. Bye." kataku lalu mempercepat lariku.

Ketika aku berada sekitar empat blok darinya, aku memutuskan untuk mengambil jalan lain. Aku tak tahan berlari dengan Matt. Rasanya seperti dikejar psikopat.

Aku baru saja akan melewati persimpangan terakhir ketika Matt menghadangku. Aku menabraknya dengan bunyi bruk! cukup keras.

"Kau tak bisa kabur dariku, darling." katanya sambil menggenggam tanganku.

"Kau tak berhak memanggilku seperti itu." kataku.

"Oh, yeah? Lalu siapa yang berhak memanggilmu darling? Justin? Huh?" tanyanya. Aku merusaha melepaskan cengkeraman-elang Matt di pergelangan tanganku.

"Lepaskan aku." kataku.

"Sadarlah, Brooke. Justin berada bermil-mil jauhnya darimu. Tak pernahkah kau berpikir bahwa dia akan berpacaran dengan cewek LA?" tanyanya. Dadaku nyeri. Tidak, ini bukan kiasan. Dadaku memang nyeri mendengar perkataannya. Aku berusaha menghilangkan pikiran itu tapi Matt mengingatkanku kembali.

"Lepaskan aku, please." kataku memohon. Dia melepaskanku. Aku langsung berlari pulang tanpa menghiraukannya. Air mataku turun bersamaan dengan keringat yang membasahi wajahku.

[skip]

"Kau tak kedengaran seperti biasanya. Ada masalah?" tanya Justin di telepon.

"Ah, tidak, aku tak apa." kataku.

"Katakanlah padaku, Alex." katanya. Aku tak bisa membendung air mataku dan ketika itulah aku terisak.

"Aku takut kau melupakanku." kataku.

"Aku tak akan melupakanmu. Sungguh." katanya.

"A-aku takut kau punya kekasih lalu kau meninggalkanku begitu saja." kataku jujur.

"Alexis, dengarkan aku, aku tak akan pernah melupakanmu, percayalah." katanya.

"Berjanjilah padaku." kataku.

"Iya aku berjanji." katanya mantap.

"Oke. Aku pegang janjimu." kataku.

"Oke. Jangan menangis lagi." katanya.

"Hmm, yeah, thank's Justin."

"Noprob."

[skip]

Aku menemukan diriku terbangun dengan posisi telentang-aneh di sofa ruang tamu pagi harinya.

TRUST (Book 1) // Ariana Grande & Justin BieberTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang