CHAPTER 24

102 14 0
                                    

"Maafkan aku Alexis." kata Cam setelah akhirnya aku mau masuk.

"Sudahlah, ini bukan hal besar." kataku.

"Marahlah padaku kalau kau mau, pukullah aku atau apa. Jangan menyimpan dendam." katanya.

"Tidak, aku tidak dendam padamu. Sungguh." kataku lalu mengambil beberapa muffin di atas meja. Cam menghela nafas lalu memandangiku makan. Sial, dia terlihat seperti Justin ketika melakukan hal yang sama. Posisi makan yang konyol ini membuat perutku bergejolak, lagi. Aku meletakkan muffinku dan menyerahkan satu muffin yang tidak sanggup kumakan ke Cam.

"Bulimia?" tanyanya. Aku kadang terkagum-kagum dengan Cam yang cepat mengetahui keadaanku. Aku mengangguk pelan lalu menyandarkan kepalaku di bahunya.

"Kau mau pulang?" tanyanya penuh kasih sayang. Kubilang penuh kasih sayang karena Cam memperlakukanku dengan sangat manis. Terlalu manis sampai-sampai aku ingin menikahinya saat ini juga.

"Tidak, tidak, aku benci merusak pesta." kataku.

"Tak apa, kita masih bisa melakukannya tahun depan."

"Cam." panggilku.

"Nikmatilah hari ini, aku tidak ingin membuatmu meninggalkan acaramu hanya karena penyakit bodohku ini. Aku akan sembuh dalam beberapa menit, tenanglah." kataku.

"Well, terima kasih, Alex." katanya. Aku tersenyum membalasnya.

"Kau tidak menemui teman-temanmu?" tanyaku.

"Tidak, kami memutuskan untuk berbaur dan menikmati pesta bersama wanita pilihan kami masing-masing." katanya.

"Jadi, kau... memilihku." kataku.

"Ya, aku rela mengajakmu ke sini hanya karena kau wanita yang kupilih. Ah, aku sungguh berharap kita ada di sekolah yang sama. Aku sangat ingin bersamamu setiap hari, Alex. Sungguh, aku tidak sedang membual." katanya. Suara jernihnya menggema di otakku.

"Ah, kau membuatku terharu." kataku lalu tertawa.

"Alex, berhenti menggodaku." kata Cam.

"Menggodamu?"

"Ya. Aku berusaha menahan diriku untuk menciummu, sepanjang hari, dan kau membuyarkannya dalam satu menit." katanya. Aku tertawa.

"Aku tidak menggodamu, bodoh." kataku geli.

"Tapi aku tegoda." kata Cam datar tapi aku tahu dia menahan tawa.

"Kalau begitu, ikut aku." kataku lalu bangun. Aku menariknya keluar Aula. Aku mengajaknya ke ruang olahraga (yang atapnya baru saja kunaiki bersamanya). Jujur, ini ruang pertama yang terlintas di pikiranku setelah Cam bilang dia ingin menciumku. Sebenarnya aku sadar, aku begitu jalang sampai-sampai aku mengajak seorang lelaki yang belum lama kukenal untuk berciuman di gym sekolahnya. Tapi dia menunjukkan ketertarikannya padaku dan dia melontarkan kata-kata manis, yang bila kugabungkan akan menjadi seperti pernyataan "Alex, aku sangat ingin menjadi kekasihmu.", jadi ya sudahlah. Dia menyuruhku bersenang-senang, dan inilah caraku bersenang-senang.

"Alexis." kata Cam manja. Sepertinya dia sudah tahu apa yang akan kulakukan. Aku mengangkat kedua tanganku.

"Well." kataku.

"Kau nakal." katanya. Aku terkikik. Cam mendorongku perlahan ke arah pintu gym seraya menunjukkan seringai menggodanya. Aku merangkulkan lenganku di bahu Cam. Dan kami berciuman, untuk kesekian kalinya, tanpa status berpacaran.

"Tak bisakah kita menikah sekarang?" bisiknya. Dia memikirkan hal yang sama sepertiku.

"Well, kau harus bertanya pada Mom dan Dad." balasku. Dia menghela nafas.

"Alexis, kau terlalu menggemaskan." katanya lalu mengeratkan pelukannya. Dan kau tahu, dia mulai bermain main dengan resleting belakang gaunku.

"Cam." kataku, membuatnya berhenti menaik-turunkan resleting konyol itu.

"Jangan khawatir, Alex." katanya lalu tertawa. Aku mendengus.

"Aku tidak bodoh, aku tidak mungkin melakukan adegan dewasa sebelum aku benar-benar dewasa." katanya.

"Kecuali aku adalah Justin." tambahnya. Aku tertawa terbahak-bahak mendengarnya.

"Beraninya kau." kataku.

"Hm, mungkin, hanya ciuman, tapi itu bukan hal besar." katanya. Aku mencubit pipinya.

"Sekarang, kau yang terlalu menggemaskan." kataku. Cam tertawa.

"Alexis, Alexis. Kenapa kita tidak bertemu sejak dulu." katanya.

"Hm, aku tidak tahu, yang terpenting adalah sekarang aku sudah menemukanmu." kataku lalu tersenyum.

"Dan aku menemukanmu." katanya lalu membalas senyumku.

TRUST (Book 1) // Ariana Grande & Justin BieberTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang