CHAPTER 39

85 11 1
                                    

Jangan percaya dia.

Kata-kata itu membuatku migrain. Akhirnya aku memutuskan untuk pulang karena aku lemas. Sebelumnya, aku meninggalkan surat di sebelah ranjang Justin supaya dia tahu kalau aku pulang.

Cam mengantarku sampai rumah dan menyuruhku istirahat sampai besok. Dia menemaniku selama kurang lebih satu jam lalu meninggalkanku agar aku bisa tidur. Tapi, kenyataannya aku tidak bisa tidur sampai dua jam setelah dia pergi. Aku masih memikirkan Justin di tengah sakit kepalaku. Aku ingin menghubungi Mom Patt agar dia menjaga Justin sampai Justin bisa benar-benar ditinggalkan, namun aku tidak ingin bersikap lancang kepada orang tua temanku sendiri. Aku juga ingin menelepon Grace dan memarahinya karena dia menelantarkan Justin, namun aku tahu itu akan berujung pada perang dunia ketiga.

Dan akhirnya sama saja, aku tidak melakukan apapun untuk membantu Justin. Aku hanya bisa menatap langit-langit kamar dan merilekskan tanganku yang kebas.

[skip]

Aku terbangun tepat pukul 7 malam. Aku turun dari ranjang dan merasakan tubuhku lebih nyaman daripada siang tadi. Aku lalu masuk ke kamar mandi untuk membersihkan tubuhku.

Aku menyalakan shower kuno Grandma dan berdiri di bawahnya. Aku merasakan butiran-butiran air yang turun melewati rambutku yang tergerai, punggungku, hingga kakiku. Aku dengab bodohnya masih sempat berpikir, mungkin kamar mandi memang tempat terbaik untuk berpikir.

Aku berjongkok di bawah hujan kecil itu dan berusaha memutar ulang hal-hal bahagia atau kenangan masa kecilku agar moodku membaik. Ya, setidaknya aku berusaha.

Aliran air semakin lama semakin pelan. Menandakan kalau aku sudah berada di kamar mandi cukup lama dan menghabiskan air cukup banyak. Aku segera membersihkan tubuhku lalu keluar dengan jubah mandi. Aku langsung merebahkan diriku di ranjang tanpa sepotong bajupun yang kukenakan di balik jubah itu. Aku merayap ke balik selimut tanpa peduli rambut basahku yang membuat bantal jadi lembab, atau suhu ruangan yang sedingin es yang mungkin saja membuatku hipotermia. Aku menarik selimut menutupi badanku lalu melepas jubahku dan melemparnya ke sudut ruangan.

[skip]

"Apa? Dad akan mengajakku pulang?" tanyaku kaget ketika Dad meneleponku pagi itu. Dia membicarakan hal yang sama seperti Mom kemarin.

"Ya. Maafkan aku dan Mom, Alexis. Kami mengalami kesulitan untuk menghubungimu sampai saat ini. Dan Mom sudah memberitahumu sebelumnya kalau kami kehabisan uang." katanya.

"Ya, ya, dia memberitahuku. Tapi aku ingin bertanya. Apakah ini jalan terakhir agar kita bisa memperbaikinya?" tanyaku dengan sedikit kecewa.

"Ya, aku sudah berusaha mencari uang kemana-mana tetapi tidak membawa banyak perubahan. Aku juga tidak mampu membayar tambahan biaya sekolahmu sampai bulan depan. Maafkan aku, Alex. Aku ayah yang payah." katanya.

"Tidak, kau sudah membanting tulang untukku, dan ini saatnya aku bisa membantumu. Aku akan pulang, Dad. Tenanglah." kataku dengan berat hati. Dadaku sesak dan nyeri.

"Sungguh? Alex. Oh Tuhan, aku sangat bersyukur mempunyaimu sebagai anakku. Tetapi, apa kau akan rela?" tanyanya.

"Aku rela selama ini demi keluarga kita." kataku lagi. Tenggorokanku tercekat dan air mataku sudah mendesak ingin keluar.

"Terima kasih, Alexis." kata Dad. Suaranya semakin pelan, dan kurasa ia juga hampir menangis sepertiku.

"Jadi, kapan aku akan pulang?" tanyaku.

"Aku akan mengaturnya nanti, sekarang aku ingin kau menenangkan dirimu. Aku tahu kau tidak bisa langsung menerimanya, Alex. Aku akan menghubungimu malam ini." katanya.

"Oh, baiklah. Bye, Dad. Take care, love you." kataku.

"Bye, sweetie. Love you too." katanya lalu telepon ditutup.

Aku menjatuhkan diriku di sofa, setengah menangis. Membayangkan kenyataan kalau :

Aku akan pulang ke Kanada (ya, ini sungguhan, bukan candaan Mom atau siapapun).

Tidak ada lagi Cam ataupun Justin.

Tidak ada Grandma atau Grandpa.

Bahkan Shawn ataupun Lauren.

Aku tidak bisa menggambarkan bagaimana perasaanku saat ini. Tapi memikirkan diriku mengucapkan salam perpisahan secara mendadak kepada mereka membuatku gemetar. Aku meremas lengan sofa seraya menahan isakan dengan sekuat tenaga.

TRUST (Book 1) // Ariana Grande & Justin BieberTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang