Aku tak bisa berhenti memikirkan Cam sejak dia pulang kemarin. Aku berkali-kali menggigit bagian dalam pipiku untuk menahan senyum. Dia benar-bebar tampan. Aku tak bisa sedetik saja memikirkan hal lain. Sungguh, aku merasa bodoh.
Aku pikir, aku terlalu cepat mengagumi seseorang, tanpa memikirkan sifat buruk yang mungkin tersembunyi dalam dirinya. Kurasa faktornya adalah kesepian yang mendalam. Aku kadang menyesal menolak permintaan Matt untuk menjadi kekasihnya, aku lebih memilih mengidolakan Justin. Dan sekarang? Dia pacaran dengan Grace, berbanding terbalik dengan apa yang pernah dia katakan, dan berbanding terbalik dengan ekspektasiku. Kukira setelah berteman hampir 15 tahun, dia akan suka padaku, tapi aku bermimpi terlalu tinggi. Sekarang aku jatuh merasakan sakit yang tak terkira.
Aku memang belum pernah punya kekasih, tapi aku bisa memberi kau relationship advices kalau kau membutuhkannya. Sungguh, aku tidak bohong.
Sepertinya dunia memang tidak mengijinkanku bermimpi. Setiap aku berkhayal, pasti dunia akan menghunuskan pedangnya langsung ke jantungku. Kau tahu maksudku, berkhayal adalah jantungku, kenyataan adalah pedangnya, dan dunia adalah si pembunuh. Dunia memusnahkan mimpi-mimpiku, begitu juga kepercayaanku pada seseorang. Aku merasa banyak orang mengkhianatiku. Mereka membuatku percaya dan berharap pada kata-kata manis mereka, namun akhirnya sikap mereka berubah drastis, seolah-olah mereka tak pernah memberiku harapan.
Aku berjalan ke meja rias lama Grandma yang ada di kamarku, aku melihat cerminanku. Aku mematut-matut diri sambil bertanya pada diriku. Apakah aku terlihat buruk? Apa yang salah dariku sampai mereka mengkhianatiku? Apakah aku pernah bersikap buruk pada mereka?
"Alexis?" panggil Grandma tiba-tiba.
"Ya?" jawabku lalu membuka pintu.
"Ah, kukira kau tidur. Cam ingin bertemu denganmu." katanya.
"Cam?" tanyaku tak percaya. Grandma mengangguk.
"Turunlah, dia menunggumu." katanya.
"Hm, baiklah." kataku lalu turun. Cam menungguku di ruang tamu.
"Hey." sapaku. Aku berusaha bersikap biasa.
"Hey, Alex." sapanya sambil menyunggingkan senyumnya yang kukagumi.
"Tumben, kau ingin bertemu denganku." kataku lalu duduk.
"Well, sebenarnya saat aku mengantar koran aku menanyakanmu pada Grandma, kukira kau sudah pulang, tapi yah, mungkin Grandma menangkapnya sebagai Cam-ingin-bertemu-dengan-Alexis, jadi dia memanggilmu." katanya. Aku tertawa.
"Ah, maafkan Grandma. Kuharap kau memakluminya." kataku.
"Hey, tak apa, lagipula aku bosan, aku sendiri di rumah." katanya.
"Oh ya? Bagaimana dengan orangtuamu? Atau kakak adikmu?" tanyaku.
"Ehm, aku tak punya kakak atau adik. Mom dan Dad ada di Kanada, dan aku melanjutkan sekolahku di sini." katanya.
"Kanada? Woah. Rumahku juga di sana." kataku.
"Sungguh?" tanyanya.
"Ya, aku dari Montreal, dan aku terdampar di sini karena lomba lari musim panasku." kataku.
"Hm, tak terlalu jauh dari Toronto." katanya. Aku mengangguk.
"Tunggu, kau atlet?" tanyanya.
"Well, bisa dibilang, ya." kataku.
"Ah, oke aku mengerti. Jadi kau ke sini karena LAAC kemarin?" tanyanya. LAAC = Los Angeles Athletic Competition. Aku mengangguk.
"Woah, harusnya aku melihatmu." katanya.
"Kau datang?" tanyaku tak percaya.
"Ya, aku bahkan menyelinap dari sekolah hanya untuk menontonnya." katanya. Aku tertawa.
"Beraninya kau."
"Well, aku bosan dengan matematika dan sejarah dan...semua pelajaran lainnya."
"Kau menakjubkan." kataku lalu bertepuk tangan. Dia tersenyum bangga. Kami melanjutkan obrolan tentang lariku. Aku tak tahu, dia benar-benar partner ngobrol yang sangat cocok buatku. Aku membuat chemistry yang baik dengannya hari ini.
Akhirnya aku menceritakan tentang kepergian diam-diamku padanya. Sebenarnya aku ragu (karena bagaimanapun juga aku baru mengenalnya, tetapi Grandma dan Grandpa menyukainya, jadi kupikir dia anak baik), tapi aku terdorong melakukannya. Beruntung Cam cepat mengerti. Aku sempat ingin menangis saat kami sampai pada ADJ, namun aku menahannya.
"Dia benar-benar brengsek." kata Cam.
"Ya." jawabku setuju. Kami tertawa.
"Maaf aku bicara terlalu banyak." kataku.
"Tak apa. Aku suka bicara padamu." katanya.
"Well, aku juga." kataku canggung.
"Kurasa kita bisa jadi teman bicara yang baik."
"Ya, aku juga berpikir begitu." kataku.
"Kau bisa curhat padaku kalau kau mau, aku tak akan membocorkannya pada siapapun." katanya.
"Hm, oke, thank's Cam." kataku. Dia tersenyum. Pandangannya yang lembut (dan atmosfer yang menenangkan setiap aku di dekatnya) membuatku ingin memberikan kepercayaanku padanya, namun aku tetap waspada.
p.s : sebenarnya aku tak ingin memberitahukan ini padamu, tapi aku benar-benar (nyaris) menciumnya, sebelum Grandpa lewat tiba-tiba. Beruntung tak ada yang melihat kejadian memalukan ini selain kami (dan Tuhan).
KAMU SEDANG MEMBACA
TRUST (Book 1) // Ariana Grande & Justin Bieber
Fanfictionjangan baek baek ama orang, ntar lo cuma dibego-begoin :) #Wattys2016