CHAPTER 19

119 16 0
                                    

Aku kelelahan. Tubuhku menolak untuk bangun dari ranjang. Aku merasakan pegal di sekujur tubuhku. Kepalaku yang berdenyut keras membuatku tidak bisa tidur. Ditambah suhu udara yang semakin turun karena sebentar lagi musim dingin. Aku berusaha keras meraih selimutku yang diletakkan di seberang ranjang tanpa harus berjalan, tetapi ternyata ini sangat menyiksa. Peregangan paksa ini membuat pinggangku yang tertabrak sepeda Cam sakit lagi. Aku ingin menjerit ketika kram menjalar ke perutku, tetapi aku menahannya. Aku tidak ingin membuat seluruh rumah ramai.

Aku pikir, mungkin aku stress karena aku terlalu memikirkan Dad. Tadi pagi dia memarahiku (atau menasehatiku) kalau dia tidak setuju aku punya pacar terlalu cepat. Aku tahu yang dia maksud adalah Cam. Tapi aku membantahnya keras. Aku bilang Cam adalah tetangga Grandma dan mereka menganggapnya keluarga sendiri, tapi sepertinya Dad tidak percaya. Dia terus mengatakan kalau pacaran pada usia 25 lebih baik daripada 15 (ya, karena dia dan Mom pacaran pada usia itu). Aku tahu, semakin dewasa semakin baik, tapi dia tidak berhak menghalangiku. Aku bilang aku hanya bergaul, mencari teman yang mungkin bisa menyelamatkanku kalau aku tersesat di Los Angeles atau apa. Tapi Dad tidak menghiraukannya dan terus mengemukakan pendapatnya sendiri.

Aku mencari celah untuk kembali ke kamarku. Jadi, ketika Dad berhenti bicara karena tenggorokannya gatal, aku langsung berpamitan padanya. Aku cepat-cepat pergi ke kamar, dan akhirnya, aku terdampar dengan kepala berdenyut dan sakit pinggang di sini. Oh sial.

"Alexis. Buka pintunya." kata seseorang tiba-tiba. Aku kembali ke posisi telentangku semula dan berpura-pura bangun tidur.

"Bukalah. Aku tidak menguncinya." kataku seraya membenarkan bantalku.

"Hai." kata Justin di ambang pintu. Dia lagi. Dia lagi.

"Ah, hai." jawabku. Justin menghampiriku lalu duduk di kursi beludru merah di dekat ranjangku.

"Apa aku mengganggumu?" tanyanya.

"Tidak."

"Ah, syukurlah. Aku ingin bicara padamu." katanya.

"Bicaralah."

"Hmm, ayahmu bilang kalau kau akan pindah ke Westmont."

"Oh ya?"

"Uh, dengar, Alex. Aku tahu kau tidak suka padaku. Aku tahu kau sudah kehilangan kepercayaanmu padaku. Tapi, berilah aku kesempatan untuk memperbaiki semuanya." katanya.

"Aku tidak pernah membencimu, Justin."

"Ya, aku mengerti, aku hanya kesal melihatmu jauh dariku. Dulu kita sangat dekat, bahkan tidak ada satu hari pun yang kita lewatkan sendiri, aku selalu bersamamu."

"Keadaan berbalik saat ini, Justin. Aku menghargai kehidupan pribadimu. Dan aku tidak ingin merusak masa depanmu jika aku terus menempel padamu. Aku hanya ingin kau bahagia."

"Aku tidak akan bahagia jika kau terus menjauhiku. Tingallah di sini bersamaku, Alex." katanya.

"Aku sudah bilang padamu kalau aku tidak berusaha menjauhimu. Percayalah. Aku tidak keberatan kalau kau ingin aku meneleponmu setiap hari. Kita tetap sahabat, Justin, lagipula aku bisa datang ke sini setiap akhir pekan." kataku.

"Alex, kumohon."

"Justin, aku tidak mungkin menjadi penghalang bagimu dan Grace."

"Tidak, kau bukan penghalang. Ah, lupakan dia. Aku tidak ingin melihatnya lagi."

"Justin." kataku lalu bangun dan berlutut di depannya.

"Kau akan baik-baik saja." kataku lalu memberikan kecupan kecil di pipinya yang hangat.

"Alexis." katanya lalu mendekapku erat.

"Tak apa, menangislah kalau kau mau. Marahlah kalau kau mau. Aku akan menerimanya." kataku.

"Aku mohon dengan sangat, tinggallah." katanya. Aku menghela nafas.

"Aku hanya ingin melanjutkan sekolahku. Setelah itu kita bisa pergi bersama kemana saja yang kau mau. Menghabiskan waktu berdua. Tenanglah."

"Aku tidak siap mengucapkan perpisahan padamu. Ini lebih berat daripada ketika aku pergi kesini dulu." katanya.

"Kalau begitu, jangan anggap ini perpisahan."

"Alexis. Aku. Aku menyesal."

"Kau tidak perlu menyesalinya. Anggap saja tidak pernah terjadi hal buruk." kataku seraya mengusap punggungnya.

"Aku mencintaimu." katanya. Tunggu. Apa?

"A-aku mencintaimu juga." kataku terbata. Sebagai sahabat, pikirku.

[skip]

"Benarkah?" seru Cam ketika aku memberitahunya kalau aku akan kembali.

"Ya! Oh My God." balasku.

"Bagaimana kau melakukan ini?" tanyanya.

"Hm, sepertinya Grandma membantuku membujuk Dad saat dia meneleponnya." kataku.

"Woah, oke. Aku akan bersiap untuk menyambutmu besok." katanya.

"Hey, kau tak perlu repot-repot." kataku lalu tertawa.

"Tak apa, kau pantas mendapatkan yabg terbaik."

"Well, thank's Cam." kataku seraya menahan senyum.

"No problem." katanya.

"Cam? Di mana kau?" tiba-tiba aku mendengar suara perempuan di seberang sana.

"Ah tunggu, Alex." kata Cam. Dia meninggalkanku dalam keheningan yang mencurigakan.

"Alex? Alex? Kau masih di sana?" kata Cam beberapa saat kemudian.

"Ya. Aku di sini." kataku.

"Ah, maaf, aku sedang mengerjakan proyek sekolah."

"Hm, oke. Lanjutkanlah. Aku akan meneleponmu nanti."

"Tidak, tidak. Aku sudah memberikan sentuhan terakhir. Sekarang kita bisa bicara." katanya.

"Oh, baiklah." kataku.

"Jadi, jam berapa kau akan berangkat?"

"Hm, mungkin 7." kataku. Tiba-tiba telepon terputus. Nada bip bip bip memenuhi udara.



Ada apa dengannya?

TRUST (Book 1) // Ariana Grande & Justin BieberTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang