CHAPTER 23

110 15 0
                                    

Aku menggenggam tangan Cam erat ketika kami menyusuri koridor sekolahnya. Udara malam menggelitik lengan dan punggungku yang terbuka. Aku bahkan bisa merasakan angin menyusuri pahaku yang tidak sepenuhnya tertutup.

Setelah kami sampai di aula utama, Cam mengajakku duduk di kursi dekat meja makanan. Dia bilang dia tidak ingin berjalan jauh kalau dia akan mengambilkanku makanan. Lalu kami mengobrol cukup lama sampai tiba-tiba seorang lelaki duduk di sebelahku dan menindih gaunku. Dengan bodohnya aku menarik-narik gaun itu hingga nyaris terjungkal. Cam menertawakanku. Sial.

"Cam!" sapa lelaki gempal itu. Sepertinya dia sadar ketika mendengar Cam terkikik. Aku terlunjak ketika mendengar suaranya yang menggelegar.

"Hey, dude." jawabnya.

"Kau terlihat keren. Aku nyaris tidak mengenalimu." katanya seraya membenarkan posisi duduknya. Membiarkan gaunku terlepas dari pantatnya. Aku mendesah lega.

"Well, kau juga." katanya. Aku mendekatkan posisiku ke Cam.

"Eh, kau mengajak siapa?" tanya lelaki itu seraya memandangku dari kepala hingga kaki. Sungguh, ini lebih menyeramkan daripada menonton film horror.

"Aku mengajak putri cantikku." kata Cam. Oh My God. Aku terpesona. Cam merangkulku lalu meletakkan tangannya di atas tanganku. Aku menggenggamnya. Oh, drama.

"Ah, oke. Kulihat kalian sangat cocok." katanya tanpa menanyakan namaku. Aku dan Cam tertawa pelan. Cam mempererat rangkulannya lalu tiba-tiba mencium pipiku. Aku malu seketika.

"Cam." kataku manja. Aku menyandarkan kepalaku di bahunya. Aku sebenarnya sempat berpikir ini hanya bualan kami berdua, tetapi aku larut ke dalam suasana. Aku bahkan tidak menyadari ketika Cam mengulurkan tangannya untuk mengajakku berdansa. Dia mengangkatku lembut hingga aku tersadar. Dengan bodohnya aku terkikik.

"Alex." kata Cam. Dia meletakkan salah satu tangannya di pinggangku dan tangan lainnya bertautan dengan tanganku.

"Ya?"

"Kau sangat cantik. Aku masih tidak percaya aku sedang berdansa dengan seorang Alexis sekarang." katanya. Aku melihat bibirnya menyunggingkan senyum manis dari balik topengku.

"Aku tidak akan melakukan ini kecuali karena kau." kataku.

"Well, aku harus sering-sering mengajakmu pergi." katanya. Aku tertawa.

"Kau tidak perlu mengajakku pergi untuk membuatku tampil seperti ini. Aku bisa berdandan hanya untukmu." kataku.

"Woah, Alex. Kau sungguh mengagumkan." katanya. Pipiku merona.

"Kau lebih mengagumkan." kataku. Cam menarikku ke pelukannya, membuat heelsku menginjak sepatunya.

"Ah, Alex." desahnya.

"Well, kurasa kau senang." kataku.

"Kau bercanda? Aku tidak mengajakmu ke sini hanya untuk menemaniku berdansa. Aku ingin menghabiskan waktuku bersamamu, sebelum kau sibuk dengan sekolahmu atau apapun itu. Aku ingin membuatmu melupakan masalahmu sejenak dan bersenang-senang." katanya.

"Hm, ya. Aku benar-benar merasakan udara kebebasan sekarang. Terima kasih banyak, Cam." kataku.

"Tersenyumlah untukku, Alex." katanya lalu melepas dekapannya. Dia menyentuh pipiku lembut. Aku tersenyum malu-malu.

"Ah, aku ingin menunjukkan sesuatu padamu." katanya.

"Apa?"

"Ikutlah aku." katanya seraya menggandengku keluar.

[skip]

"Kau lihat bintang-bintang itu?" tanya Cam seraya menunjuk langit. Aku mengikutinya.

"Ya, tentu."

"Sekarang, apa yang kau pikirkan tentang mereka?"

"Mereka terlihat sama. Tidak ada bintang yang paling terang."

"Nah, itu Alexis yang ku kenal. Sekarang, menurutmu di mana bintang yang paling terang itu?"

"Hm, aku tak tahu... di... belahan bumi selatan? Di kutub utara?" tanyaku menebak-nebak. Cam tertawa.

"Ah, kau belum menyadarinya." katanya.

"Menyadari apa?"

"Bintang yang paling terang itu sedang menatap teman-temannya sambil bertanya di mana dia berada saat ini." kata Cam. Aku berusaha mencerna kata-katanya.

"Ah, oh my." kataku setelah aku sadar yang Cam maksud adalah aku. Cam tertawa.

"Sekarang kau tahu." katanya.

"Kau manis sekali." kataku lalu tersipu konyol.

"Well, kuharap kau bahagia bersamaku, Alex." katanya lalu tersenyum. Aku memeluknya erat tanpa basa-basi.

"Aku terlalu bahagia untuk mengungkapkannya padamu." kataku. Cam mengusap lembut rambutku.

"Alexis, maukah-"

"Cameron!" panggil seseorang. Aku melepaskan pelukanku. Seorang gadis, yang kukira teman Cam, mendekati kami. Dia mengenakan gaun merah muda dan heels senada yang bisa kulihat remang-remang dari kegelapan malam.

"Mary?" kata Cam.

"Aku mencarimu ke seluruh ruangan dan ternyata kau di sini." katanya.

"Well, aku-"

"Kau mengajak siapa?" serobotnya seraya memandangku dari ujung kepala hingga ujung kaki.

"Oh ya, kenalkan ini Alexis." katanya.

"Kau tidak berasal dari sekolah ini, kan?" tanyanya tajam. Aku merasakan hatiku retak seketika. Sungguh, tidak biasanya aku tersinggung.

"Hm, ya." jawabku.

"Cam, kau tidak boleh mengajak orang asing. Ini acara sekolah kita." katanya.

"Mary, kau sangat kasar." kata Cam.

"Kasar? Aku hanya memberitahumu." katanya. Telingaku panas.

"Kau mengada-ada. Tentu saja aku boleh mengajak siapapun ke sini. Lagipula aku tidak merusak acara sekolah kita." kata Cam. Aku melepaskan peganganku di lengan Cam.

"Tak usah mempermasalahkannya, ini hanya hal sepele, aku akan pulang sekarang." kataku. Aku bergegas pergi dari atap ruang olah raga sekolah Cam itu.

"Alexis, tunggu!" teriak Cam. Aku mendengar sahut-sahutan di antara mereka. Aku melepas heelsku lalu berlari ke arah gerbang. Aku hampir mencapai trotoar ketika lenganku ditahan oleh Cam. Dia terengah-engah di belakangku.

"Kenapa kau mengejarku?" tanyaku.

"Alex, tidak pernah ada peraturan konyol semacam itu. Kumohon, jangan percaya padanya. Kembalilah bersamaku." katanya.

"Tak apa, Cam. Kulihat dia memang berbohong. Mungkin dia hanya ingin berdansa denganmu." kataku.

"Tidak, Alex, ikutlah aku, jangan pergi." katanya.

"Tapi-"

"Alexis. Ingatlah kata-kataku tadi." katanya tegas.

"Hm, ya." kataku seraya menghela nafas panjang.

"Kembalilah, aku berjanji dia tidak akan mengganggu kita lagi." kata Cam. Aku menjatuhkan heelsku lalu terdiam. Angin malam bertiup semakin kencang. Menerbangkan dedaunan musim gugur bersama niatku kembali masuk ke pesta.

TRUST (Book 1) // Ariana Grande & Justin BieberTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang