CHAPTER 40

86 12 2
                                    

Cam terkejut ketika aku memberitahunya kalau aku akan pulang ke Kanada.

"Alexis, aku sedang tidak ingin bercanda." katanya pada awalnya.

"Aku tidak bercanda. Ini sungguhan, Cam." jawabku.

"Tapi apa alasannya? Kau marah padaku? Atau kau bosan denganku sehingga kau memilih pulang? Katakan padaku agar aku bisa merubah sikapku, Alex." katanya.

"Tidak, bukan kau. Aku dan keluargaku mengalami masalah yang rumit. Dad tidak bisa lagi membiayaiku bersekolah di sini. Kami kehabisan uang." kataku.

"Bagaimana itu bisa terjadi?" tanya Cam dengan raut sedih.

"Ada banyak hal yang terjadi akhir-akhir ini. Aku mungkin memang ditakdirkan untuk tidak bersikap bodoh dengan sekolah di luar negeri dan menyusahkan orang tuaku dengan biayanya." kataku.

"Tapi tidakkah ada cara lain agar kau tetap tinggal?" tanyanya.

"Tidak, kata Dad." kataku lalu menunduk. Cam menggenggam erat bahuku.

"Alexis. Jangan pulang." katanya. Dahi kami menempel satu sama lain.

"Ini usaha terakhir untuk keluargaku. Mungkin aku akan membantu Dad bekerja atau apa supaya aku bisa meringankan beban mereka. Aku ingin kau-"

"Aku tidak akan merelakanmu." katanya. Dia seakan bisa membaca jalan pikiranku.

"Oh, Tuhan. Apa yang bisa kulakukan." desahku.

"Aku akan melakukan apapun agar kau bisa membantu keluargamu tanpa harus pulang." katanya.

"Aku tidak tahu, Cam. Aku hanya akan mengikuti apa yang Dad akan katakan padaku." kataku.

"Aku yakin kalau kau mendengarku ketika aku bilang saku sangat menyayangimu." raungnya.

"Ya, aku dengar, Cam. Dan aku tahu."

"Lalu kau akan meninggalkanku." katanya.

"Godness, aku tidak tahu harus melakukan apa." kataku. Air mata yang sudah susah payah kubendung mengalir lagi.

[skip]

Dad sudah merencanakan kepulanganku pada hari Minggu, itu artinya seminggu tepat dari sekarang. Dia bilang dia akan mengurus segalanya tentang kepindahanku dari sekolah dan memesan tiket untukku. Dia juga bilang dia akan mengusahakan tiket pesawat termurah yang bisa ia dapat. Aku merasa sangat kasihan padanya.

Aku memutuskan untuk memberi tahu semua orang yang kukenal di sini hari itu juga setelah Dad mengkonfirmasi kepulanganku agar mereka tidak terlalu terkejut. Setelah Cam, aku memberitahu Grandma, lalu Grandpa, Mom Patt, teman-teman sekelasku, dan semuanya yang bisa kuhubungi. Namun, aku sengaja melewatkan Justin untuk saat ini. Aku khawatir kalau dia jadi lebih tertekan dan akan memperlambat kesembuhannya. Aku berpikir keras untuk menyusun rencana sendiri baginya.

Semua orang berkata bahwa kepulanganku adalah hal yang paling menyedihkan, terutama Grandma dan Grandpa. Bahkan Grandma sempat menangis setelah aku bicara padanya. Mereka bilang mereka sangat senang ketika aku berada bersama mereka. Begitu pula sebaliknya. Grandma merindukan saat-saat pelarianku kesini, saat aku membantunya membuat chicken enchilladas kesukaanku (dan Cam), saat kami dan Grandpa bercengkerama di ruang tamu. Gosh, semuanya itu membuatku semakin tidak ingin pulang.

Rasa ini semakin kuat ketika Cam tiba-tiba berada di kamarku dengan sebuah boneka beruang cukup besar, yang aku tahu dia beli dengan susah payah. Dia bilang dia ingin memberikan kenang-kenangan yang membuatku selalu teringat padanya. Dan sejauh ini, hal itu bisa dibilang berhasil. Aku merindukannya setiap aku melihat benda itu ada di kursiku, atau di ranjangku, atau di sudut kamarku.

Tidak hanya Grandma dan Grandpa ataupun Cam. Lauren juga memperhatikanku. Tidak kusangka dia mengajak seisi kelas untuk memberikan sepatah dua patah ucapan perpisahan. Walaupun mereka hanya membuat video bersama dan mengirimnya ke ponselku karena memang cuaca tidak mendukung untuk kami berkumpul di suatu tempat. Mereka mengucapkan kata-kata manis seperti "kami senang kau bergabung dengan kami", atau "jadilah yang terbaik di manapun dirimu berada", dan sebagainya.

Aku benar-benar ingin tinggal.

TRUST (Book 1) // Ariana Grande & Justin BieberTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang