CHAPTER 21

128 18 2
                                    

Grandpa meninggal. Grandpa meninggal! Biar kutegaskan lagi. Kakekku meninggal kurang dari duapuluh empat jam setelah aku datang. Oh My God. Aku tidak percaya melihat wajahnya yang pucat pasi, sedang duduk, diam, tanpa denyut jantung, tanpa nafas yang berhembus keras seperti biasanya. Aku mengguncang-guncang bahunya namun tidak terjadi apa-apa. Aku menelepon Dad lalu Cam, memberitahu mereka untuk segera datang. Aku bergegas mengganti pakaianku lalu menemui Grandma yang sedang terisak di sebelah suaminya. Aku menenangkannya seraya membaringkan Grandpa.

Aku tidak pernah tahu kalau Grandpa mengidap penyakit. Dia selalu terlihat sehat dan bahagia, seperti, tidak pernah ada keluhan dalam hidupnya. Aku miris melihat tangan Grandma menggenggam erat tangan suaminya.

"Alexis. Grandma." akhirnya Cam datang.

"Cam." panggilku.

"Apa yang terjadi padanya?" tanya Cam. Aku menggelengkan kepala. Suram.

"Aku tidak tahu apa yang terjadi. Aku menemukannya dalam kondisi seperti ini. Padahal dia masih bersemangat untuk menata halaman belakang tadi, tapi sekarang..." kata Grandma. Aku memeluknya.

"Mungkin ini memang waktunya. Kakekmu mempunyai 80 tahun yang indah. Aku menyesal aku tidak bisa memberikan apa yang dia mau." kata Grandma seraya terisak.

"Grandma." panggil Cam.

"Suamimu adalah orang paling kuat yang aku tahu. Ya, walaupun aku baru mengenal kalian setahun ini. Tapi aku tahu Grandpa sangat hebat. Aku bahkan salut terhadap semangatnya. Dia tidak pernah terlihat murung, atau marah." kata Cam. Aku tidak tahu harus berkata apa.

"Hm, ya, dia sangat-sangat hebat." kata Grandma masih sambil menggenggam tangan Grandpa. Dia mengecup keningnya.

"Grandma. Aku. Aku sangat menyesal. Aku selalu jauh dari kalian. A-aku." aku terdiam. Aku menutup wajahku dengan tangan.

"Hey, are you okay?" tanya Cam seraya memegang bahuku.

"Aku cinta kalian. Tapi aku tidak bisa berbuat apa-apa selama ini." kataku.

"Alexis. Jangan berkata begitu. Kau dan Cam adalah cucu terbaik yang kami punya." kata Grandma.

"Tidak. Maksudku. Ah." aku terdiam. Cam menggenggam erat tanganku dan Grandma.

[skip]

"Argh." jeritku. Aku terkejut ketika melihat Cam di sebelahku.

"Alex? Kau tak apa?" tanyanya.

"Cam. Grandpa." kataku terbata seraya memegang tangannya.

"Grandpa? Dia di halaman belakang." katanya.

"Hah? Dia di halaman belakang? A-aku? Aduh. Bodoh." umpatku pada diri sendiri. Aku baru sadar aku tertidur di sebelah Cam saat kami menonton film bersama setelah aku sampai.

"Kau mimpi buruk?" tanyanya khawatir. Dia memusatkan perhatiannya padaku. Pipiku memerah.

"Hm, ya, ah lupakan. Maaf aku mengagetkanmu." kataku.

"Hey, tak apa." katanya lalu membelai rambutku.

"Kau sedang gelisah?" tanyanya. Aku menggelengkan kepala.

"Hm, baiklah. Ceritakan padaku kalau kau tidak nyaman." katanya. Aku mengangguk lalu menyandarkan kepalaku di bahunya. Aku bermanja-manja sejenak padanya. Sungguh, perasaanku sedang tidak enak.

[skip]

Kali ini aku benar-benar sadar. Aku terbangun pukul 4 pagi dan langsung mencubiti tangan dan kakiku, memastikan bahwa aku tidak sedang bermimpi lagi. Aku tahu ini bodoh, tetapi ini membuatku yakin kalau aku terjaga.

Aku bersiap ke sekolah. Hari ini Dad datang untuk mengantarku sekaligus mengurus kepindahanku. Kami berangkat tepat pukul 6.30 dan sampai sejam kemudian.

Aku cukup terkejut ketika melihat bangunan yang megah (cukup megah bila disebut sebagai sekolah). Aku melihat anak-anak perempuan dengan tubuh berisi namun proporsional (tidak seperti aku). Mereka terlihat heran kepadaku, namun pandangan mereka segera teralih. Aku masuk bersama Dad, dia bilang aku bisa langsung pergi ke kelas karena sudah tidak ada masalah dengan kelas baruku. Aku sempat mengeluh seperti anak kecil karena aku malu masuk sendirian, tetapi aku memberanikan diri. Aku melewati kerumunan anak laki-laki yang memandangku nakal. Aku terus berjalan ke kelas lari tanpa menatap wajah orang-orang.

Buk! Tiba-tiba aku menabrak seekor beruang. Beruang besar berbulu coklat yang kurasa adalah maskot sekolah ini. Dengan bodohnya aku tetap berdiri sambil tertegun. Beruang itu membuka bagian kepalanya.

Seorang lelaki berambut coklat gelap melihatku dari ujung kepala hingga ujung kaki.

"Siapa kau?" tanyanya.

"Aku Alexis. Anak baru." kataku gugup.

"Ah, anak baru. Well, kau tahu apa yang harus kau lakukan kalau kau merusak maskot?" tanyanya.

"A-aku tidak merusaknya." kataku.

"Kau menabraknya, bodoh." katanya.

"Ta-"

"Sekarang kau harus menggantikanku memakai maskot ini." lanjutnya.

"Apa?" kataku terkejut. Dia memakaikan paksa kepala beruang itu ke kepalaku lalu melemparkan bagian badannya.

"Kau harus berkeliling sekolah dan menyapa semua orang." katanya. Aku ingin membela diri tetapi lelaki sialan itu selalu membantahku.

Aku memakai kostum konyol itu dan meninggalkan tasku di kursi depan ruang janitor.

Oh My God. Aku dibully di hari pertama aku sekolah. Aku ingin mengadukannya pada Dad.

TRUST (Book 1) // Ariana Grande & Justin BieberTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang