CHAPTER 33

102 14 0
                                    

Telepon rumah Grandma berdering tepat ketika aku akan keluar untuk membuat manusia salju bersama Cam. Aku memintanya menunggu seraya berjalan menghampiri telepon usang itu.

"Halo." sapaku.

"Alex? Apa itu kau?" tanya seseorang di seberang.

"Ya." kataku.

"Hey, ini aku, Justin." katanya gembira. Wait, what?!

"Justin? Kedengarannya tidak seperti kau." kataku. Atmosfer berubah.

"Ya, aku mendapat sedikit masalah dengan tenggorokanku, dan suaraku jadi aneh."

"Kau sakit?"

"Secara teknis, ya. Kemarin aku sangat lemas, lalu Mom membawaku ke sini. Mereka menyuntikkan cairan-cairan konyol padaku dan tidak memberitahu apa yang sebenarnya aku derita." jelasnya.

"Tunggu, kau sedang dirawat di rumah sakit?" tanyaku.

"Ya."

"Ah, aku mengerti. Lalu, bagaimana bisa kau meneleponku jika kau dirawat intensif?" tanyaku.

"Aku... menyelinap." katanya.

"Maksudmu?"

"Well, aku baru sadar ponselku direnggut dariku hari ini, lalu aku mencabut paksa infusku dan menyelinap ke ruangan konyol yang punya telepon di dalamnya ini, dan aku meneleponmu." katanya sedikit kesal. Mungkin pertanyaanku terlalu lancang.

"Oh please, Justin, jangan bodoh. Kau tidak seharusnya meneleponku dalam keadaan sakit. Kau.." kataku. Aku tiba-tiba merasa tidak ingin bicara dengannya.

"Tapi, aku hanya ingin mendengar suaramu." katanya. Aku terdiam.

"Alex? Kau masih di sana?" tanyanya.

"Well, baiklah, aku akan kembali ke kamarku. Maaf meng-" katanya.

"Tidak, bukan begitu. Argh, aku akan menemuimu nanti. Beri tahu aku alamatnya." kataku. Aku merasa buruk.

"Sungguh?" tanyanya.

"Ya." kataku. Justin memberikan informasinya padaku.

"Aku akan menunggumu." katanya gembira lalu menutup telepon.

"Alexis? Kau akan pergi?" tanya Cam tiba-tiba. Aku tersentak.

"Ah, ya, tapi tidak sekarang." kataku.

"Ada apa?" tanyanya seraya duduk di sebelahku.

"Justin. Dia dirawat di rumah sakit. Dan dia dengan bodohnya mencabut infusnya lalu menyelinap untuk meneleponku." kataku.

"Justin sakit? Godness, Alex, kau sebaiknya pergi menjenguknya sekarang." kata Cam.

"Sekarang?" tanyaku bimbang. Cam menatapku cukup lama, seperti berusaha membaca pikiranku.

"Hm, tidak ada salahnya kalian bertemu, lagipula kau sudah lama tidak berhubungan dengan Justin, kan?" tanyanya. Aku mengangguk. Sudah sebulan, pikirku.

"Dia merindukanmu, Alex. Sampai-sampai dia mencabut jarum infus itu demi meneleponmu." katanya. Aku cukup terkejut.

"Aku akan mengantarkanmu, tidak perlu khawatir." katanya lagi.

"Tidak, tidak. Aku akan pergi sendiri." kataku. Aku merasa sedikit menyesal telah menyambut telepon Justin dengan buruk.

"Kau yakin? Kau pasti butuh bantuan untuk melewati salju tebal itu." katanya seraya memandang ke arah jendela.

"Aku bisa, kok." kataku tenang.

"Hm, Alexis." kata Cam. Dia merangkulku tiba-tiba.

"Mungkin aku akan melakukan hal yang sama jika aku berada di posisinya." kata Cam mengganti topik. Pikiranku kembali melayang pada Justin. Oh, sial.

"Aku tahu apa yang kau rasakan. Tapi aku juga tahu apa yang Justin rasakan. Dan aku berusaha menetralkan suasana. Mungkin ini sedikit menguras kesabaranmu, Alex, tetapi aku rasa terlalu lama membenci seseorang tidak akan merubah kenyataan menjadi lebih baik." katanya.

"Aku tidak membencinya." kataku.

"Lalu, kenapa kau tidak ingin menemuinya?" tanyanya.

"Aku.. tidak tahu." kataku.

"Mungkin, kau tidak benar-benar "tidak tahu". Kau hanya tidak ingin memikirkan alasannya." katanya. Ya, benar juga.

"Alexis, lihat aku." katanya lagi seraya mengangkat daguku. Aku bertatapan langsung dengannya.

"Aku tidak ingin membuatmu merasa buruk, sungguh. Aku juga tidak ingin membelanya atau apapun. Aku hanya berusaha membuatmu segera menyelesaikan masalahmu. Begini, aku ingin kau membangun hubungan baik dengannya dan dengan begitu dia tidak akan mengganggumu lagi." katanya.

"Maksudku, aku ingin kau bertemu dengannya, bicara dengannya, bangunlah kembali hubungan baikmu seperti dulu, dan katakan kalau kau memang ingin menjalani hidupmu sendiri tanpa campur tangannya. Dia akan tahu, dan dia akan melepaskanmu." kata Cam lagi.

"Bagaimana kau tahu?"

"Aku belajar banyak hal dari apa yang aku lihat dan aku alami." katanya. Aku terdiam.

"Aku hanya mengajakmu berpikir lebih dewasa dari usia kita sekarang." katanya.

"Hm, baiklah." kataku. Cam mengusap keningku.

"Tersenyumlah." katanya. Aku mengabaikannya lalu mengambil tasku dari atas meja.

"Hey." panggil Cam seraya memegang bahuku. Aku menoleh ke arahnya.

"Smile." katanya seraya menunjukkan gigi-giginya.

"Cam, sud-" tiba-tiba Cam mencubit kedua pipiku.

"Tersenyumlah, Alex." katanya.

"Baik, baik, cukup." kataku. Cam melepaskan cubitannya. Aku tersenyum paksa.

"Aku akan pergi sekarang." kataku.

"Tunggulah di sini, aku akan mengambil motor." katanya.

"Tidak perlu, aku akan naik bus ke kota." kataku.

"Alexis Campbell, turutilah aku." katanya.

"Oke, oke, baiklah." kataku. Cam segera kembali ke rumahnya.

TRUST (Book 1) // Ariana Grande & Justin BieberTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang