CHAPTER 8

152 19 0
                                    

Kami berempat merayakan kemenangan sekaligus ulang tahunku malam ini. Aunt Patt membeli chicken enchiladas kesukaanku dalam porsi besar. Dad sempat minta maaf karena dia tidak bisa membuat pesta yang meriah, namun aku bilang itu tidak perlu.

Justin duduk di sebelahku, memandangiku seperti biasanya. Aku tak tahu kenapa dia suka melihatku makan. Aku pernah menegurnya tetapi dia hanya tertawa, jadi aku mengabaikannya, sampai saat ini.

"Aku ingin bicara padamu setelah ini." bisiknya. Aku mengiyakan dengan mulut penuh keju cheddar.

Kami ke halaman belakang. Aku kepayahan dengan lututku yang tak bisa ditekuk. Justin menyuruhku meluruskan kakiku di pahanya, sungguh, aku tak pernah merasa secanggung ini.

Justin mengibaskan rambutnya yang berkilau kena cahaya bulan. Aku memandang mata hazelnya yang tajam.

"Aku sebenarnya tidak ingin membicarakan ini di hari ulang tahunmu." katanya memulai.

"Katakan saja, aku tak apa." jawabku.

"Aku ingin minta maaf padamu."

"Kau tak perlu minta maaf."

"Dengar, Alexis, aku bilang padamu aku tak akan punya hubungan dengan Grace karena dia anak bibiku." katanya.

"He-eh."

"Tapi aku benar-benar tidak tahan melakukannya." katanya. Aku langsung memikirkan ADJ.

"Ya aku sudah tahu." kataku tenang. Justin kaget.

"Kau? Kau tahu?" tanyanya.

"Aku melihatmu bercinta dengannya dua kali." kataku. Justin terbelalak.

"Bagaimana kau tahu?" tanyanya.

"Kau tak menutup pintumu, bodoh." kataku.

"A-aku tak tahu. Aku-"

"Tak apa, aku tahu kau tak tahan." lanjutku. Hening merayapi kami.

"I-itu sebabnya kau tak keluar kamar seharian waktu itu?" tanyanya kemudian.

"Hm, mungkin ya, mungkin tidak." kataku lalu berusaha menurunkan kakiku dari pahanya. Justin menahan pergelangan kakiku.

"Aku minta maaf, Alexis. Aku benar-benar menyesal." katanya, aku bisa melihat matanya berkaca-kaca.

"Mungkin itu caramu meluapkan kerinduanmu. Kau sudah lama tak bertemu dengannya, kan. Lagipula dia punya bodi yang membara." kataku. Aku menarik kakiku sekuat tenaga. Justin melepaskannya.

"Tapi aku tak bermaksud bermesraan dengan saudaraku sendiri. Aku tak sadar apa yang aku lakukan." katanya.

"Kau minum?" tanyaku.

"A-aku tak tahu. Aku hanya ingat aku terbangun dalam keadaan shirtless." katanya.

"Hm, paling kau dicekoki bir olehnya, sudahlah lupakan." kataku. Aku berusaha berdiri.

"Maafkan aku, Alexis. Aku mengkhianatimu, aku kehilangan kepercayaanmu padaku." katanya sambil menggenggam tanganku. Aku hanya tersenyum miris.

"Aku ingin mengistirahatkan kakiku." kataku kemudian. Justin terdiam.

"Tidurlah, tenangkan dirimu. Aku tidak akan mengadukanmu." kataku lalu pergi, menyeret kaki kananku yang mulai kesemutan.

Aku masuk ke kamarku dan menangis sepelan mungkin. Dan sialnya kaki payahku semakin sakit jika aku terisak. Aku menghabiskan malam kemenanganku dengan mengurung diri di kamar sambil menangis, yang seharusnya kuisi dengan bersenang-senang di pesta.

[skip]

Hari ini aku melihat hal yang sama parahnya dengan 4 hari lalu. Justin dan Grace berciuman di ruang keluarga. Aku melewatinya dan melihat Justin memandangku dengan tatapan aku-sungguh-tak-ingin-melakukan-ini. Kurasa Grace yang memaksanya berciuman. Aku nyaris menangis, namun aku menahannya. Aku buru-buru keluar rumah.

Dad dan Aunt Patt sedang mengobrol ketika aku lewat. Mereka memanggilku. Aunt Patt bilang mereka akan pergi menjenguk Uncle Frank (yang masih punya hubungan saudara dengan ayahku). Rumah sakitnya cukup jauh, sekitar 3 jam dari rumah Justin. Dad bilang kabarnya mendadak dan mereka harus sampai sebelum jam 12. Itu artinya aku akan ditinggal sendiri dengan dua anak yang tak bisa berhenti meluapkan hasratnya di depanku. Kau tahu, kalau hatiku punya tulang, kurasa dia sudah keseleo karena terbentur kabar buruk ini. Kau tahu maksudku? Tidak. Oke, lupakan.

"Baiklah." kataku berusaha tenang. Aku benar-benar ingin mencakar muka Grace dan Justin.

"Jangan main terlalu jauh, Alex." kata Dad.

"Aku hanya akan tinggal di rumah Dad, kakiku belum sembuh." kataku. Kadang aku merasa Dadku orang yang agak payah.

"Oke, jaga dirimu, nak. Telepon Dad kalau kau ada masalah." kata Dad.

"Tentu." kataku. Mereka lalu masuk untuk memberitahu Justin dan Grace.

[skip]

Kau tahu, ide liarku muncul setelah Dad berangkat :

Aku menghabiskan satu jamku yang menyiksa dengan memandangi anak-anak anjing yang berlarian di depan rumah Justin.

Aku jadi ingat, hari pertama aku lari pagi di sini, aku diikuti satu anak anjing. Dia ikut berlari di sebelahku. Lama-lama aku khawatir jika dia berbelok lalu tersesat, jadi aku mengembalikannya. Anehnya, saudaranya tidak mencarinya dan sibuk bermain dengan saudara lainnya.

Tunggu.

Kalau aku pergi mungkin Justin dan Grace tak akan mencariku, karena mereka sibuk berpacaran. Ide brilian. Kadang aku kagum akan kemampuanku menghubungkan fakta dan membuat filosofi, termasuk filosofi anak anjing ini.

Tapi kemana aku akan pergi? Hm. Ah! Rumah baru Grandma hanya dua jam dari sini. Aku bisa menyelinap lalu naik bus tanpa sepengetahuan mereka.

[skip]

Aku memasukan bajuku (juga sertifikatku) di kopor lalu menyelinap. Aku tak membawa trofiku karena benda itu ada di kamar Dad. Dan aku juga sudah terlalu stress untuk menulis surat pada Dad (dan menyelipkannya di pintu agar Dad tahu kalau aku pergi), jadi aku tidak meninggalkan jejak apa-apa. Aku tidak terlalu peduli kalau mereka ribut mencariku nanti. Bukannya aku tak kasihan, tapi aku benar-benar tidak tahan dengan kelakuan J dan G.

TRUST (Book 1) // Ariana Grande & Justin BieberTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang