CHAPTER 16

130 17 2
                                    

Aku gelisah sepanjang pagi. Aku bersiap dan mengemasi koperku asal-asalan. Aku tidak bisa fokus memikirkan satu hal. Terlalu banyak tekanan dalam otakku. Grandma dan Grandpa hanya bisa mengasihaniku. Cam bahkan datang jam 5 pagi untuk menemaniku. Sebenarnya aku tidak memintanya, namun dia memaksa.

"Aku akan memohon pada Dad untuk memperbolehkanku pindah ke sini." kataku.

"Kau yakin dia tak akan marah?" tanya Cam sambil masih melihat sertifikatku.

"Tidak kalau aku memintanya baik-baik. Lagipula aku juga ingin menjaga Grandma dan Grandpa." kataku.

"Well, aku akan mendukung apa yang kau lakukan, Alex." katanya.

"Thank's." kataku lalu tersenyum.

"Hubungi aku kalau kau membutuhkan sesuatu." katanya lalu memasukkan kertas putih berukir emas itu ke koperku.

"Aku.. membutuhkanmu." kataku tanpa sadar. Aku langsung menutup mulutku rapat.

"Alexis." panggilnya.

"Ya?" jawabku malu. Aku bersikap seolah tak terjadi apa-apa.

"Apa.. kau benar-benar ingin bersamaku?"

"Aku-"

"Maksudku, apa kau benar-benar senang berada di dekatku?" tanyanya.

"Hm, tentu saja. Kenapa kau bertanya seperti itu?"

"Ah, ini pertama kalinya aku menemukan orang seperti kau."

"Maksudmu?"

"Aku tahu ini kedengaran dramatis, tapi kau berbeda dari orang lain, kau langsung baik padaku ketika kita bertemu pertama kali. Kau tidak memandangku rendah seperti yang lain." katanya.

"Aku tidak pernah memandang rendah siapapun, Cam." kataku.

"Hm, aku-"

"Alexis." panggil seseorang. Aku terkejut saat melihat Justin di depan pintu. Justin! Oh Tuhan.

"Dimana Dad?" tanyaku.

"Dia menyuruhku menjemputmu." katanya.

"Dad bilang dia yang akan menjemputku, dia tidak mungkin menyuruhmu tanpa memberitahuku." kataku.

"Ah, sudahlah, aku tetap akan membawamu pulang." katanya.

"Aku tidak ingin pulang bersamamu." kataku. Justin menyambar koperku lalu menarik tanganku.

"Ouch. Hey." pekikku.

"Hey, jangan paksa dia." kata Cam tiba-tiba.

"Kau tidak berhak melarangku, bodoh." kata Justin.

"Aku tidak melarangmu, aku hanya ingin kau memperlakukannya sebagai wanita."

"Diamlah, idiot. Kau mengulur waktu." kata Justin tajam. Cam menarikku dari cengkeraman Justin. Dia menyudutkan Justin ke tembok.

"Apa? Kau ingin memukulku? Pukullah semaumu." kata Justin. Wajah Cam memerah.

"Guys-"

"Kami akan menyelesaikan masalah kami, Alex." kata Cam. Justin meliriknya tajam. Dia masih di dalam "naungan" lengan kokoh Cam.

"Pergilah, Alex, kau tidak boleh melihatnya." kata Justin.

"Guys, dengar-"

"Aku akan mengantarmu ke bawah." kata Cam.

"Dengarkan aku!" raungku. Perasaanku bercampur antara marah, takut, bahagia, dan sedih. Cam memegang bahuku, tampaknya dia terkejut.

"Aku benci melihat kalian bertengkar lagi. Berhentilah bersikap seperti itu." kataku.

"Alex-"

"Aku akan pulang sendiri." kataku lalu menarik koperku.

"Alexis, tunggu." kata Justin. Cam memegang pergelangan tanganku.

"Maafkan aku." kata Cam. Aku meliriknya. Melihat mata coklatnya yang dalam membuatku tidak enak padanya. Argh, aku benci merasa seperti ini. Aku benar-benar tidak bisa terus marah pada seseorang.

"Aku akan meneleponmu." kataku tanpa suara.

"Oke." balasnya pelan lalu melepasku.

Aku mencari Grandma dan Grandpa lalu berpamitan. Aku hampir menangis ketika keluar rumah.

"Alexis, pulanglah bersamaku." kata Justin.

"Aku bisa sendiri." kataku.

"Kumohon." katanya seraya menggenggam tanganku.

"Pfh, oke, oke, berhenti memohon." kataku pelan. Justin memasukkan koperku ke SUV Grace (lagi, aku trauma dengan mobil sialan itu). Aku tidak percaya aku pulang. Aku akan menghadapi ocehan Dad, Mom, atau bahkan semua orang karena pelarianku.

TRUST (Book 1) // Ariana Grande & Justin BieberTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang