"Alexis!" seru Cam ketika dia melihatku di halaman rumah Grandma siang ini. Dia sepertinya baru pulang sekolah. Dia langsung memberiku pelukan hangat yang sama seperti malam ketika aku menangis. Ya, cepat sekali bukan? Aku baru saja di pelukan Justin dan sekarang? Aku berada di pelukan Cam. Sungguh, aku merasa jalang.
"Aku merindukanmu." kataku pelan. Meluapkan kebahagiaan serta sedikit kekesalan terhadap pemutusan telepon kemarin.
"Aku lebih merindukanmu." jawabnya.
"Terima kasih sudah menemuiku." kataku.
"Hey, aku memang ingin menemuimu, bodoh." katanya lalu mengusap keningku. Aku tertawa paksa.
"Kau mau pizza? Aku baru saja membelinya dengan potongan 10%" katanya.
"Oh ya? Hm, mungkin aku akan mencicipinya sedikit." kataku.
"Well, aku akan mengambilnya dulu. Tunggu sebentar." katanya lalu berlari ke rumahnya. Dia keluar 5 menit kemudian dengan sekotak sedang pizza peperoni di tangannya.
"Woah. Aku lapar." kataku setelah dia sampai.
"Makanlah yang banyak. Kau butuh banyak energi untuk menjadi atlet." katanya. Aku tertawa. Kami masuk dan duduk di dekat perapian kuno Grandpa. Aku mengambil sepotong demi sepotong pizza seraya menceritakan semua yang aku lakukan di rumah Justin. Cam memperhatikanku dengan sabar dan tenang sambil sesekali menertawakan kisah konyolku.
"Kau tahu. Aku tidak pernah menemukan orang sepertimu, Alex." katanya.
"Aku... langka." kataku. Cam tertawa.
"Aku tidak bohong, Alex." katanya.
"Hm, mungkin kau belum mengetahui bagaimana diriku sesungguhnya. Ini masih awal perjalanan." kataku.
"Tapi aku yakin kau seperti orang yang kukira." katanya.
"Well, kita lihat saja nanti." kataku lalu menyeringai.
[skip]
Bip bip bip bip. Suara alarm yang memekakkan membuatku terbangun. Hari ini aku mulai sekolah. Oh My God. Aku tidak tahu mengapa aku merasa malas. Sangat-sangat malas. Aku sedang tidak mood untuk berjalan di koridor sekolah sendirian dan berkata "Hai, aku Alex. Siapa namamu?" ketika aku bertemu orang-orang baru. Dan semuanya memang orang baru! Oh tidak. Aku tidak pandai berkenalan. Selama ini Justin yang mengenalkanku pada orang baru. Justin. Ya, Justin. Dan sekarang aku tidak lagi bersamanya.
"Alexis. Kau sudah bangun?" kata Grandma di balik pintu.
"Ya, Grandma. Aku akan mandi." kataku lalu beranjak. Selop kelinciku berdecit ketika aku menggesekkannya dengan lantai kayu itu. Aku masuk kamar mandi lalu mengguyur kepalaku hingga kakiku dengan air hangat. Aku melihat pantulan diriku di cermin kecil yang digantung di sudut ruangan, berhadapan denganku yang sedang telanjang.
Aku melumuri diriku dengan sabun beraroma lemon yang kubawa dari Kanada. Kulitku merona di bawah cahaya lampu. Aku berpikir, aku tidak terlalu buruk untuk berada di sisi seorang lelaki. Aku tidak seksi, tapi aku kuat berlari satu kilometer untuk menyelamatkannya kalau dia dalam bahaya. Aku tidak cantik, tapi aku tidak perlu memintanya membelikanku pensil alis untuk menebalkan alisku (yang memang sudah tebal). Ah, pikiranku kacau.
"Oh My God!" jerit Grandma. Aku terlojak. Aku buru-buru membilas tubuhku lalu memakai jubah mandi. Aku tergopoh-gopoh turun dari tangga.
"Ada apa Gra-"
...
KAMU SEDANG MEMBACA
TRUST (Book 1) // Ariana Grande & Justin Bieber
Fanfictionjangan baek baek ama orang, ntar lo cuma dibego-begoin :) #Wattys2016