Kurasa ini hari terpanas dalam sejarah Montreal. Aku tak bisa berhenti mengutak-atik kipas angin usang milik Grandma. Damn. Tak ada AC di sini. Aku terlalu malas berjalan ke rumah Justin hanya untuk mendapat udara dingin. Ya, dia punya sekitar 4 AC di rumahnya, yang tak akan pernah dimiliki keluargaku.
"Alexis, kemari!" kata Mom.
"Uh, wait." jawabku lemas lalu menghampirinya.
"Justin ingin bertemu denganmu." katanya. Aku melihat anak lelaki payah yang sudah berteman denganku sejak kecil dibalik tubuh Mom.
"Hey, J." sapaku.
"Hey, aku ingin bicara padamu." katanya. Dia mengajakku ke taman tempat kita sering bermain.
"Aku kira kau masih sibuk dengan proyek sainsmu." kataku.
"Aku tak bisa lagi mengerjakannya, Dad membuangnya, dia bilang itu mengotori garasi kami." katanya.
"Oh, aku menyesal." kataku. Dia mengibaskan rambutnya.
"Tak apa, lagipula aku sudah muak dengan sains." katanya.
"Jangan berbohong padaku. Semua orang tahu kau akan menjadi ahli sains." kataku sambil mengingat bagaimana ayah Justin mendidiknya dengan keras untuk menjadi ilmuwan, sebelum bercerai dengan ibunya.
"Aku tak berbohong." katanya. Kita berjalan dalam diam.
"Sudahlah, tak perlu dibahas. Ada sesuatu yang lebih penting yang ingin kukatakan." katanya.
"Hm, oke." kataku. Lima menit kemudian kita sampai di taman itu. Dia mengajakku duduk di bawah pohon maple yang cukup rindang untuk melindungi kami dari matahari.
"Jadi, apa yang ingin kau bicarakan?" tanyaku.
"Aku, ehm, aku ingin-"
"Jangan bilang kalau kau ingin ke toilet." sambungku.
"Aku, pfh, sorry Lex, aku harus ke kamar kecil." katanya. Aku menghela nafas panjang. Beruntung dia segera kembali. Dia buru-buru menghampiriku.
"Aku bosan menunggumu buang air." kataku.
"Maafkan aku, kau tahu bagaimana kondisiku kalau aku gugup." katanya.
"Memang kau gugup kenapa?" tanyaku. Justin mengatur nafasnya yang tersengal-sengal karena dia tak biasa berlari sepertiku.
"Aku, ah, aku ingin mengatakan ini sejak lama, tapi aku sangat gugup." katanya.
"Katakanlah. Kau membuatku penasaran." kataku.
"Aku, aku suka padamu." katanya. Aku mengernyit.
"Kau? Suka padaku?" tanyaku.
"Jangan heran. Aku sudah memendamnya 2 tahun terakhir." katanya. Aku berpikir sejenak.
"Kau tidak berusaha mempermainkanku, kan?" tanyaku.
"Tidak, Alexis Campbell . Aku benar-benar suka padamu. Dan aku tidak sedang mabuk." katanya. Wow. Seorang Justin Bieber baru saja menembakku. Aku tak mempercayainya.
"Jadi, maukah kau menjadi pacarku?" tanyanya. Pertanyaan itu membawaku kembali ke kenyataan.
"Uh, aku, eh." kataku. Dia tersenyum.
"Kau tak harus menjawabnya sekarang, aku bisa menunggu." katanya. Aku semakin bingung. Kita memiliki latar belakang berbeda. Dia kaya, aku tidak. Dia good looking, aku tidak. Dia pernah punya pacar beberapa kali, dan aku bahkan belum pernah punya kekasih.
"Oh iya, aku hampir lupa. Jangan khawatir pada mereka yang pernah dekat denganku, aku telah melupakan mereka." katanya.
"Oh, okay, aku akan memikirkannya." kataku. Dia tersenyum lagi.
"Thank's, Alexis." katanya. Aku hendak menjawab ketika ada suara pip keras yang terus berbunyi.
"Alex! Alex!" panggil seseorang.
"Ah? Apa?" tanyaku. Tiba-tiba aku terbangun.
"Aku akan segera berangkat. Cepatlah bersiap atau aku akan ketinggalan pesawat." kata Justin.
"K-kau? Ah. Aku hanya mimpi semalam?" kataku.
"Aku tak peduli kau mimpi atau tidak. Sana, mandilah." katanya. Aku berjalan sempoyongan ke kamar mandi.
Aku hanya mimpi? Ah. Aku terlalu memikirkan kepergian Justin ke Los Angeles. Oh My God, Alexis, sadarlah. Kau tidak akan pernah bersama Justin lagi. Kalian akan berada di negara yang berbeda beberapa jam lagi, untuk selamanya. Berhentilah berharap.
KAMU SEDANG MEMBACA
TRUST (Book 1) // Ariana Grande & Justin Bieber
Fiksi Penggemarjangan baek baek ama orang, ntar lo cuma dibego-begoin :) #Wattys2016