"Aku akan memanggil dokter." kataku ketika Justin mulai terbatuk-batuk lagi.
"Jangan!" katanya dengan satu tangan menggenggam tanganku dan tangan lainnya memegang lehernya. Aku menariknya sekuat tenaga.
"Mereka ingin membunuhmu." jeritnya.
"Membunuhku apa? Apa yang kau katakan?" tanyaku. Aku hampir menitikkan air mata.
"Aku mendengar perempuan itu mengajaknya membunuhmu. Dia membencimu." katanya.
"Aku tidak mengerti." raungku. Justin kaget. Dia refleks melepaskan tanganku. Membuatku punya kesempatan untuk lari dan memanggil dokter.
Aku mendorong pintu dan memberitahu seorang perawat yang sedang berjalan ke arahku. Dia dengan sigap memberitahu salah satu dokter di sana, lalu mereka mengikutiku ke kamar Justin.
[skip]
Justin terjatuh di tengah ruangan. Sepertinya ia berusaha mengejarku ketika aku keluar. Dokter segera menghampirinya dan merangkulnya untuk berdiri. Aku hanya bisa terpaku di depannya.
"Alexis, dengarkan aku." kata Justin.
"Maafkan aku, Justin. Tapi aku benar-benar tidak mengerti apa maksudmu." kataku pelan. Dokter dan perawat membimbingnya ke ranjang dan menyuntikkan obat penenang.
Dramatis. Ya, aku tahu. Aku bahkan membencinya daripadamu. Aku benci melihat Justin dari tempatku berdiri, aku benci terdiam seperti orang bodoh, aku benci memanggil dokter untuk menenangkan Justin seperti di film-film, aku benci melihat obat bius itu bekerja, aku benci melihat Justin tak sadarkan diri.
Aku benci semua yang terjadi padaku hari ini.
[skip]
Perkataan Justin masih terngiang di otakku. Aku pikir dia bicara tanpa sadar karena dia belum pulih. Mungkin penyakitnya membuatnya berhalusinasi dan mendorongnya untuk pergi ke ruangan tanpa nama itu. Aku tidak tahu. Aku hanya berusaha berpikir positif.
Namun, bagian lain di otakku memberi sinyal lain yang membuatku merasa perkataan Justin benar. Maksudku, dia berusaha mengatakan sesuatu yang penting padaku.
Tapi kenapa pembunuhan? Siapa yang akan membunuhku? Dia bilang temanmu. Aku menafsirkannya sebagai Cam, karena Justin tidak pernah menyebut teman lainku dengan kata itu, dia selalu menyebut nama mereka. Namun, Cam atau Mary tidak mungkin membunuhku. Mereka waras, dan membunuhku itu sangat mustahil.
[skip]
"Alexis?"
"Cam. Masuklah." kataku ketika mendapati Cam di ambang pintu. Gejolak di otakku sedikit terlupakan. Cam masuk lalu duduk di kursi yang sebelumnya sejajar dengan kursiku sebelum aku menariknya lebih dekat dengan Justin. Ia menyentuh bahuku dan meremasnya pelan, berusaha memberi tahuku kalau aku tidak perlu khawatir karena sudah ada dia di dekatku.
"Di mana Mary?" tanyaku tanpa menoleh.
"Dia sudah pulang." katanya singkat. Aku jadi merasa canggung.
"Dia pulang sendiri?"
"Hm, ya." katanya lalu menarik kursi menjajariku.
"Dia tidak ingin kau mengantarkannya?"
"Tidak." katanya. Hening menyelimuti kami selama beberapa saat.
"Bagaimana keadaan Justin?" tanyanya akhirnya. Aku meliriknya.
"Dia belum sembuh. Penyakit membuatnya berhalusinasi tentangku." jelasku.
"Halusinasi?"
"Ya, dia mengiramu akan membunuhku. Sungguh aneh." kataku.
"Aku membunuhmu? Oh My God, aku tidak akan melakukan itu." katanya. Aku menghela nafas.
"Ya, aku tahu. Kurasa dia tertekan. Aku kasihan padanya." kataku seraya melihat Justin. Dia masih berada di bawah naungan obat bius.
"Alexis, aku ingin bicara sesuatu." katanya.
"Bicaralah, Justin tidak akan mendengarnya." kataku tenang.
"Hm, aku akan mengatakannya nanti." katanya. Dia mengurungkan niatnya untuk bicara sekarang.
"Tak apa, Cam." desakku.
"Well, baiklah." katanya. Selanjutnya, ia justru berdiri dan mengajakku serta. Dia mengarahkan pandangaku padanya dengan mengangkat daguku.
"Aku menyayangimu, jangan berpaling dariku, oke." katanya memulai. Aku terkejut. Untuk sesaat aku pikir dia cemburu karena aku memperhatikan Justin seharian ini. Tapi, aku juga tidak ingin terlalu percaya diri, jadi aku hanya tersenyum dan mengiyakannya. Dan tanpa diduga, Cam memelukku erat, membenamkan wajahku di kausnya yang berbalut jaket musim dingin.
"Alexis Campbell." katanya dengan sangat lembut. Aku hampir tidak pernah mendengarnya memanggil nama lengkapku.
"Dad pernah bilang kalau aku menemukan wanita yang tulus dan baik hati sepertimu, aku harus berjuang untuk mendapatkannya sebelum orang lain."
"Alexis, uh, di mana Alex. Alexis." tiba-tiba Justin mengigau. Aku mengabaikan perkataan Cam seketika. Dia melepaskan pelukanku tepat ketika aku akan berbalik. Aku menatapnya sejenak lalu menghampiri Justin.
"Ya, Justin, aku di sini." bisikku pelan. Tangan Justin seperti berusaha menggapai-gapai sesuatu.
"Hey, aku di sampingmu." bisikku lebih dekat.
"Alexis jangan percaya dia." katanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
TRUST (Book 1) // Ariana Grande & Justin Bieber
Fanfictionjangan baek baek ama orang, ntar lo cuma dibego-begoin :) #Wattys2016