Aku terbangun di pangkuan Cam. Aku tak tahu bagaimana ini terjadi, yang kuingat hanya Cam menggandengku lalu tiba-tiba saja aku mendaratkan bibirku di bibirnya yang hangat. Tunggu. Oh tidak! Aku mencium orang yang bahkan belum seminggu kukenal!
"Kau sudah bangun?" tanya Cam tiba-tiba. Aku nyaris terguling dari sofa.
"Ah, ya, baru saja." kataku. Aku buru-buru bangun dan merapikan bajuku.
"Kau terlihat tidak tenang. Kenapa? Mimpi buruk?" tanyanya.
"Tidak, tidak, aku hanya...Ah, tak apa." kataku. OMG, kenapa ini harus terjadi.
"Apa ini gara-gara semalam?" tanyanya. Sial.
"Semalam? A-aku tak ingat apa yang terjadi semalam." kataku berbohong.
"Well, ciuman itu." katanya. Aku berusaha bersikap tenang.
"Ciuman?" tanyaku.
"Ya, ah, tapi tak apa, lupakan." katanya.
"Hm, baiklah." kataku. Perasaanku tidak enak, kurasa aku menyakitinya. Oh no.
[skip]
"Kau sakit?" tanyaku ketika kami kembali ke rumah Grandma. Cam menolak ikut makan bersama.
"Tidak." katanya.
"Kau marah padaku?"
"Tidak, tidak. Bagaimana aku bisa marah padamu? Kau selalu baik padaku." katanya lalu tertawa. Tawa yang dipaksakan.
"Tapi, kau tak terlihat seperti biasanya." kataku.
"Aku? Kurasa tidak."
"Pfh. Oke, aku mengaku."
"Mengaku apa?" tanyanya.
"Aku menciummu semalam, kan? Dan mungkin kau tersinggung karena aku lancang. Tapi sungguh, aku tidak bermaksud melakukan itu." kataku.
"Hey, tak apa. Aku senang kau melakukan itu. Kau bertingkah lucu saat mengantuk." katanya. Aku semakin merasa bersalah.
"Maafkan aku, Cam. Aku janji tidak akan mengganggumu lagi. Aku akan menelepon Dad dan pulang, aku tidak akan bergantung padamu lagi." kataku lalu berpaling.
"Alexis." panggilnya seraya memegang tanganku.
"Bukan seperti itu. Kejadian tadi malam membuktikan kalau kau mempercayaiku. Tidak mungkin kau mencium lelaki yang tak kau percaya, bukan? Apalagi dalam keadaan tidak mabuk. Kau tahu maksudku." katanya.
"Hm, ya, mungkin kau benar, tapi-" kataku.
"Tetaplah bergantung padaku agar aku punya alasan untuk dekat denganmu." lanjutnya. Aku terkesima mendengarnya.
"Ehm, baiklah." kataku setelah beberapa saat. Aku memeluk lengan kokohnya dan menenggelamkan wajahku di kausnya.
"Thank's." kataku.
"No problem." katanya seraya menyunggingkan senyum manisnya.
[skip]
Aku berencana membeli beberapa bahan makanan untuk Cam. Dia pasti tidak sempat pergi ke toko karena dia harus mengambil koran setiap pagi lalu mengantarkannya ke seluruh penjuru S Normandie.
Aku pergi ke swalayan terdekat yang Grandma tunjukkan. Aku mengambil beberapa roti, sereal, susu, dan barang-barang yang masih Cam butuhkan di rumahnya. Aku jadi kasihan padanya karena ia hidup sendiri dari upah mengantar korannya. Tak ada alasan lagi bagiku untuk mengeluhkan kehidupanku di Montreal, yang jauh lebih baik dari Cam. Kau tahu maksudku.
Aku membayar semuanya lalu pulang. Sampai di persimpangan kedua sebelum rumah Grandma, tiba-tiba seseorang menarik lenganku. Aku hampir menjerit ketika melihat seorang lelaki dengan kain yang menutup sebagian wajahnya. Dia menggendongku di pundaknya, merampas dan membuang barang belanjaanku. Aku meronta namun sial, jalanan itu sangat sepi. Tak ada seseorang pun yang mendengarku. Lelaki itu menurunkanku di lahan kosong di sebelah rumah yang sepertinya lama ditinggal penghuninya. Dia membuka penutup wajahnya, dan kau tahu, dia adalah Justin! JUSTIN!
"Kau!" semburku marah.
"Alexis. Kenapa kau melakukan ini? Kenapa kau meninggalkanku?" tanyanya. Sorot matanya tajam namun dia menjaga suaranya agar tetap tenang.
"Aku tak tahan denganmu!" kataku.
"Katakan, apa yang membuatmu pergi?"
"Kau yang membuatku pergi."
"Alexis, aku memang salah padamu, aku sudah berusha minta maaf." katanya.
"Tapi kau mengulanginya lagi. Aku tidak bisa menerima permintaan maaf dari pembual sepertimu." kataku lalu berontak. Justin semakin memojokkanku.
"Baiklah, aku memang menyalahi janjiku, aku menjadi bad boy seperti katamu, tapi bukan berarti kau harus pergi dan membuat semua orang panik seperti ini. Kembalilah, Alexis. Aku ingin kita membangun hubungan baik dari awal."
"Aku tidak akan kembali. Biarkan aku pergi, Justin." kataku. Justin menggenggam tanganku erat.
"Pulanglah bersamaku atau aku akan memberitahu ayahmu." katanya. Pikiranku kosong seketika. Dad. Oh tidak.
"Lepaskan aku!" jeritku. Justin mempererat genggamannya.
"Aku tidak akan melepaskanmu sampai kau mau pulang."
"Kubilang aku tidak akan pulang!" bentakku. Aku menggigit jarinya yang mengunci tanganku. Justin mengerang lalu melepaskannya. Ini saatnya pergi, pikirku. Aku lari sekuat tenaga ke jalanan. Justin mengejarku. Oh My God, tolong aku.
Kurang 100 meter dari rumah Grandma ketika aku bertabrakan dengan sepeda Cam. Aku terjungkal lagi untuk yang kesekian kalinya dalam hidupku. Aku merasakan nyeri yang tak terkira di pinggangku. Kukira Cam akan menolongku namun tak ada yang terjadi. Aku membuka mataku dan mendapati Cam terlibat baku hantam dengan Justin. Aku ingin menolongnya tapi apa daya, aku bahkan tidak bisa bergerak.
Tenggorokanku tercekat, nafasku tinggal satu-dua, dan sialnya pinggangku semakin sakit. Aku hanya bisa melihat kejadian mengerikan itu dari tempatku terbaring.
ps : Aku melihat Cam mendaratkan pukulan keras di rahang Justin sebelum semuanya gelap.
KAMU SEDANG MEMBACA
TRUST (Book 1) // Ariana Grande & Justin Bieber
Fanfictionjangan baek baek ama orang, ntar lo cuma dibego-begoin :) #Wattys2016