CHAPTER 36

98 12 0
                                    

Cam kebingungan ketika melihatku keluar kamar Justin dengan panik. Dia bergegas menghampiriku dan merangkul bahuku yang lemas.

"Alexis, apa yang terjadi?" tanyanya.

"Justin. Dia bilang dia akan-" aku tidak sanggup melanjutkan kata-kataku. Tangisku pecah seketika, aku terisak-isak seraya menutup wajahku dengan kedua tangan. Aku gemetar hingga nyaris jatuh, namun Cam menahan lenganku.

Kepalaku berputar-putar bersamaan dengan gejolak di perutku. Otot-ototku terasa menegang dan ini sangat tidak nyaman. Ditambah bau obat-obatan yang memenuhi ruangan membuatku mual.

"Alexis, ceritakan padaku." katanya pelan.

"Justin bilang, d-dia akan meninggalkanku, dia pikir dia p-parasit bagiku, aku tidak bermaksud-" kataku dengan susah payah. Cam mengusir rambut-rambut yang menempel di pipiku karena air mata. Dia menegakkan kepalaku seraya menatap mataku.

"Dia menyinggungmu? Katakan padaku kalau dia menyakiti perasaanmu, aku akan membalasnya saat ini juga." katanya. Godness, Cam ikut tersulut.

"Tidak, bukan, i-ini, ah, aku tidak bisa menjelaskannya." kataku.

"Alexis, dengar, aku peduli padamu, oke. Ceritakan padaku agar aku bisa membantumu." katanya, suaranya lebih rendah, dan terkesan direndahkan untuk membuatku buka suara. Aku berusaha menahan isakan bodohku dan mengambil nafas panjang. Cam tetap menungguku tanpa mengalihkan pandangannya dariku sedetik pun. Aku jadi merasa buruk (lagi).

"Dia rasa lebih baik dia meninggalkanku karena dia pikir kami tidak akan bisa akur lagi seperti dulu." kataku perlahan seraya mengatur nafas.

"Akur? Lalu mengapa dia meneleponmu waktu itu kalau bukan karena kalian memang akur?" tanyanya.

"Tidak, maksudku, dia ingin aku berada di sampingnya sepanjang waktu, seperti apa yang dulu kami lakukan."

"Argh, kenapa dia merubahmu kalau dia ingin dirimu yang dulu?" tanya Cam.

"A-aku tidak tahu. Bukan begitu yang kumaksud. Oh, aku tidak bisa berpikir dengan jernih." kataku. Dia diam sejenak, memikirkan apa yang akan dikatakan selanjutnya.

"Baiklah, Alex, aku sadar ini masalah pribadimu dan Justin, aku tidak akan mencampurinya mulai sekarang. Jadi kau tidak perlu menceritakan kelanjutannya padaku. Aku percaya kau akan mengatasinya dengan bijak, karena itulah Alexis yang kukenal. Begini, dengar, aku hanya punya satu permintaan, ah, tunggu, ini perintah, katakan padaku apa yang bisa kubantu, itu jika kau memerlukanku. Maksudku, aku menyerahkan semuanya kepadamu, dan kalau kau perlu bantuan dalam menyelesaikan masalahmu dan Justin, panggil aku." katanya.

"Ya, aku mengerti maksudmu." kataku lemah.

"Aku bersungguh-sungguh." katanya. Aku mengangguk, meyakinkannya kalau aku mengerti.

"Oke baiklah, sekarang kita cari udara segar agar kau lebih nyaman." katanya.

"Aku tak apa, aku akan di sini." kataku.

"Jangan memaksakan dirimu."

"Tidak, aku baik. Aku bilang pada Justin kalau aku akan menemuinya segera setelah aku boleh masuk lagi."

"Hm, kalau itu-" tiba-tiba ponsel Cam berbunyi. Dia minta maaf dan pamit untuk menjawabnya. Aku merebahkan diriku di salah satu kursi di ruang tunggu di seberang kamar Justin, meregangkan kakiku yang terasa kaku. Beberapa detik setelah mencapai sofa, ponselku ikut berbunyi. Aku mendapati Mom meneleponku. Tidak seperti biasanya ketika kami hanya saling berkirim pesan singkat selama bertahun-tahun untuk berkomunikasi.

Aku menjawabnya dan mendengar suara Mom yang melengking.

"Lexie, darling, bagaimana kabarmu?" tanyanya.

"Tidak terlalu baik, kurasa. Bagaimana denganmu?" tanyaku. Aku terbatuk untuk mengembalikan suaraku yang seperti orang tercekik setelah menangis.

"Oh, Tuhan, kau punya masalah? Apa ini berhubungan dengan sekolahmu?" tanyanya tanpa menjawab pertanyaanku.

"Tidak, ah, aku sedang malas membicarakannya, Mom. Mari kita bahas yang lain. Seperti... mengapa kau tiba-tiba meneleponku?" kataku mengalihkan topik secara paksa. Aku mengetukkan jari-jariku di lengan sofa beludru itu.

"Sweetie, cepatlah selesaikan masalahmu, karena kita punya masalah yang lain lagi yang harus diselesaikan." kata Mom.

"Masalah apa?"

"Grandpa sakit. Aku, ayahmu, dan Grandma sudah berusaha membawanya ke semua tempat pengobatan, tetapi tidak berhasil. Oh, Alex, maafkan aku. Aku tidak seharusnya membuatmu seperti ini." suara Mom merendah.

"Katakan saja, Mom. Aku tak apa." kataku. Entah kenapa, aku merasa gugup.

"Kami kehabisan uang sekarang, Alex. Dan satu-satunya harapan adalah membawamu pulang." katanya.

"Tunggu, apa maksudmu?" tanyaku.

"Kami tidak bisa-"

"Alexis?" panggil Cam yang sudah kembali. Dia segera menutup mulut ketika dia tahu aku sedang bicara di telepon.

"Kau tidak bisa apa?" tanyaku kembali pada Mom. Aku tidak mendengar apa-apa setelah itu. Hening menyelimuti.

"Mom? Kau masih di sana?" tanyaku. Hening kembali. Aku memanggil Mom beberapa kali namun tidak ada jawaban. Setelah beberapa detik, telepon ditutup.

"Apa maksudnya?" gumamku pada ponselku.

"Kenapa?" tanya Cam. Dia mendekatiku.

"Mom. Aku belum sempat mendengar tujuannya meneleponku." kataku.

"Hm, kau tidak mencoba menghubunginya lagi?" tanyanya.

"Ya, aku sedang mencoba." kataku seraya mengulangi panggilan Mom. Cam menggenggam ponsel di tangan kanannya dan menggenggam jari kelingkingku di tangan satunya, tanpa tujuan.

"Tidak bisa." kataku setelah mencoba menelepon Mom lagi.

"Hm, Alexis, aku merasa seperti terlalu banyak beban dalam dirimu." kata Cam tiba-tiba.

"Semua orang punya banyak beban, Cam." kataku.

"Tidak, kau terlihat semakin hari semakin lelah."

"Aku rasa itu hanya perasaanmu."

"Aku tidak bohong, Alex." katanya.

"Hm, ya, kurasa memang begitu. Tapi sudahlah. Lebih baik sekarang kau menceritakan kisah lucu padaku agar aku lupa hal yang aku alami." kataku. Mataku berair lagi, entah kenapa.

"Yeah, baiklah. Aku tidak ingin memperburuk perasaanmu." jawabnya. Aku tersenyum paksa.

"Cameron!" panggil seseorang di ambang pintu ruang tunggu. Aku terkejut ketika melihat wajah Mary di sana. Dia datang dengan jaket warna merah yang mencolok dan boots yang agak berbulu. Dia menatapku tajam ketika dia sadar akan keberadaanku.

Hanya tiga kata yang terlintas di pikiranku, "Kenapa dia kembali?"

TRUST (Book 1) // Ariana Grande & Justin BieberTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang