CHAPTER 14

115 17 0
                                    

Aku mendapati diriku terbaring di kamarku, di rumah Grandma. Cam juga ada di sana, dia tertidur di kursi sambil menggenggam erat tanganku. Aku merasa sangat nyaman, namun tetap ada rasa canggung dalam diriku. Aku bahkan tidak tahu apakah lelaki ini sudah punya kekasih. Aku ingin melepaskannya, tapi dia jelas-jelas memintaku untuk tetap bersamanya.

Aku melihat Cam seperti aku melihat Justin pertama kali. Aku kagum padanya, seperti yang sudah aku katakan padamu. Aku memperhatikan segala sikap manis dan melupakan semua sifat buruknya. Dan pada akhirnya, aku hanya bisa berharap Cam adalah pribadi yang berbeda, yang bisa membawa perubahan dalam hidupku yang penuh masalah.

"Alexis?" panggil Cam tiba-tiba.

"Hey, Cam. A-apa aku membangunkanmu?" tanyaku.

"Tidak, tidak, aku terbangun begitu saja, dan ternyata kau juga. Bagaimana keadaanmu?"

"Ah, aku masih merasakan nyeri."

"Apa aku perlu memanggil dokter?"

"Tidak, jangan, aku tak apa, Cam." kataku. Cam mendekat, membuatku bisa melihat memar di pipi dan sudut bibirnya dengan jelas.

"Kau yang seharusnya mendapat penanganan dokter." kataku.

"Tidak perlu. Aku akan sembuh dengan sendirinya." katanya. Aku terdiam sejenak.

"Cam?" panggilku.

"Ya?"

"Ijinkan aku melakukan ini sekali lagi." kataku. Tanganku menyusuri lehernya lalu menariknya. Kali ini aku menciumnya dalam keadaan sadar, benar-benar sadar. Irama denyut nadi di bibirnya yang hangat membuatku tenang dan melupakan semua bebanku.

"Thank's for saving my life." kataku. Wajah Cam hanya beberapa senti dari wajahku. Aku bisa merasakan hembusan nafasnya.

"I'll protect you as long as I'm alive." katanya. Aku tersenyum. Dia membalasnya seraya membelai rambutku, mengusir anak-anak rambut nakal di dahiku. Cam mendekatkan wajahnya lagi dan kali ini dia yang menciumku. Godness. Aku meluapkan segala kebahagiaan, kesedihan, kecemasan, dan semua perasaanku. Aku mendapatkan kembali semangatku darinya. Oh, what a heaven.

"Aku rasa kau masih butuh banyak istirahat. Tidurlah, Alexis." bisiknya kemudian.

"Hm, baiklah." kataku.

"Aku tidak akan kemana-mana, jangan khawatir." katanya.

"Kau keberatan jika aku memintamu untuk menemaniku?" tanyaku canggung.

"Di sini?" tanyanya seraya menunjuk tempat tidur. Aku mengangguk.

"Well, aku tidak bisa menolak permintaan seorang malaikat." katanya. Oh My God.

"Thank's." kataku. Cam naik lalu merangkulku.

"I just want to make you feel comfy." bisiknya.

"Yeah, and I really feel comfy everytime you're next to me." kataku. Aku tak tahu, mungkin ini kedengaran seperti dua anak yang saling jatuh cinta, tapi aku mengatakan apa saat ini yang kurasakan.

[skip]

Aku terbangun karena sedikit kejutan di lenganku. Ada dokter yang menyuntikkan sesuatu ke dalam tubuhku tanpa memberitahuku.

"Saya memberikan pereda nyeri dosis rendah, nona." katanya.

"Ah, oke." jawabku tak acuh.

"Setelah ini, jika ada suatu masalah atau keluhan Anda bisa menghubungi saya." kata Dokter itu ke Grandma yang ada di sampingku.

"Baik, Dok. Terima kasih." katanya lalu mengantarkan perempuan paruh baya itu keluar. Aku ditinggal bersama Cam yang bergidik ngeri di sudut kamar.

"Apakah itu sakit?" tanyanya.

"Tidak, hanya seperti tergigit semut." kataku.

"Tapi benda tajam itu menusuk kulitmu beberapa senti."

"Ya, tapi aku tidak merasa sakit." kataku.

"Hm, tunggu, kau takut jarum?" godaku.

"Tidak, aku tidak takut." katanya. Aku tertawa.

"Aku tahu kau takut." kataku.

"Aku tidak takut, Alexis. Sungguh."

"Lalu mengapa kau bergidik?"

"Aku, aku hanya tidak tega." katanya. Aku menggenggam tangannya.

"Tak apa, aku tidak akan menghakimi." kataku dengan seringai menggoda. Cam menghela nafas lalu tertawa.

"Well, aku rasa ini saatnya sarapan." katanya mengalihkan topik.

"Ah, aku sedang tidak lapar."

"Alexis, makanlah atau aku akan menciummu lagi." katanya sambil menahan tawa.

"Pfh, baiklah, tapi sedikit saja, aku khawatir bulimiaku kambuh."

"Oke, oke." katanya lalu mengambilkan sarapanku.




Oh Tuhan, apakah kau mengirim penolongku yang sesungguhnya?

TRUST (Book 1) // Ariana Grande & Justin BieberTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang