4» Ambiguity Boy

4.6K 212 6
                                    

Bel berdering membuatku girang setengah mati, rasa kantuk yang tadi mengelitiku akhirnya lenyap tanpa bekas.

"Denger bel aja, sumeriiinggaahh lu!" celetuk Weyna dengan wajah kusut. Dari tadi dia memang sudah ngedumel mengimentori tulisan Pak Husain yang mirip sandi rumput.

Aku tersenyum hampa, karena rasa lapar telah menggerogoti perutku sejak tadi.

"Aku mau ke kantin, mau ikut?" tanyaku.

Weyna menggeleng lesu.
"Aku mau nyatet tulisan Alien dulu."

"Baiklah."
Aku segera pergi ke tempat yang kutuju dengan jalan gontai.

Setelah mendapat makanan yang kupesan, aku segera duduk, di satu-satunya bangku kosong yang tersisa.
Siapa peduli dengan si nerd boy yang membenamkan seluruh wajahnya di balik buku. Aku duduk di hadapanya tanpa permisi.

"Bagian yang meneyebalkan saat makan bakso adalah, saat memutilasinya!" desisku pada siri sendiri.

Tanganku dengan rusuh berkutat, mencoba membelah bakso bulat yang tidak mau mengalah padaku.

"Harusnya aku tak pesan ini, menyebalkan!" Kucoba membenamkan sendokku ke dalam bola kenyal itu, perlahan mulai terbelah, dan akhirnya...

Meleset!

Hanya secuir bakso yang terlepas.
Aku merasa sangat dipermainkan oleh makananku sendiri, sedangkan perutku yang perih terus bertiak protes.

Mataku memgerjap lalu mengalirkan tetesan beningnya. Suara mangkuk yang terdengar mengkeretek tajam setelah kujatuhkan sendok dari genggamanku.

Oh terimakasih tuhan...

Rasanya aku ingin menangis, bukan haru atas keberhasilanku membelah baksonya, tapi karena cipratan kuah bakso itu masuk ke dalam mataku.
Alih-alih bagian bakso yang terbelah malah melayang dan menimpuk meja, jatuh tepat di depan si kutu buku, ya! itulah adegan terakhir yang kulihat sebelum aku menutup mataku.

Geraman kekesalan bisa kudengar dari sebrangku.

Tapi kumohon lupakan soal lelaki itu, masalah yang lebih pentingnya adalah sekarang mataku perih. Aku gelagapan bergerak gusar, gelap membuatku bertindak benar-benar tak karuan. Aku berdiri.

"PANAS! PERIH! MAMA HELP ME!" pekikku, yakin deh tatapan seantero kantin kini menghujaniku.
Ada untungnya aku gak bisa liat.

"Nih ... air!" Mataku yang menetup membuat telingaku dua kali lebih awas, aku bisa dengar sebuah suara datar yang mencoba ramah. Taganku meraba-raba mencari keberadaan benda yang ditawarkanya.

Setelah kurasakan sesuatu yang dingin langsung saja kuraih dan kubasahi wajahku dengan air itu. Rasanya lega, sejuk, wangi, lalu kubuka mataku sedikit demi sedukit, Air itu putih dan ... manis?

What? Manis! Air apa tuh?

Kubuka mataku lebih lebar segera untuk melihat air apa yang ada di tanganku.
Satu cup Cream Mint Latte. Salah satu minuman khas di kantin ini.

Aku mendengus, seluruh anggota wajahku mengerut pada satu poros. Aku menatapnya tajam, tajam sekali, setajam silet, berharap bisa menyayat-nyayatnya.

Tapi Lelaki itu dengan santainya duduk dan menaruh kembali belahan baksoku dari atas meja ke dalam mangkuk. Sekai lagi, dari atas meja ke dalam mangkuk.

"Feroo!!!" Sekarang urat maluku yang satu satunya kumiliki putus gara-gara cunguk satu ini.

Fero melanjutkan aktivitas membacanya tanpa memepedulikan aku dan orang-orang yang sekarang menatapku dengan tawa bahagia mereka.

Sugar MintTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang