25» Some Stay Some Leave

2.1K 109 0
                                    

Aku merindukan hal ini, menghabiskan waktu bersama Weyna. Kami belakang ini punya masalah masing-masing dan akhirnya sekarang kami bisa menghabiskan weekend bersama.

Aku dan Weyna pulang dari Jokecafe dan kulihat langit sudah berwarna kejinggaan. Aku membiarkannya tetap menyetir meski perasaanku mulai tegang saat beberapa kali mobil anjlok terus, seperti melewati batuan, padahal jalanan rata. Oleng ke kanan dan ke kiri walau Weyna sudah menekan ujung kakinya pada rem, tapi mobil tak mau berhenti.

"Ein!" teriaku.

Weyna membanting stir mengarakan mobil ke tepi jalan, berusaha menginjak rem tapi sayang bumper depan sudah menabrak pohon. Keningku menghantam dasbor dengan sangat keras. Menyesal juga tidak memakai sabuk pengaman.

Kepalaku berdenyut ngilu, tapi aku masih bisa melihat ke depan menembus kekaburan mataku. Asap mulai mengepul. Kuhentakan bahu Ein yang masih pingsan dengan kening berdarah membentur stir.

Oh sialan! Banyak sekali darah dari kepalanya, tuhan jaga sahabatku.

"Ein!" aku terus mencoba menyadarkanya.

"Tolong!" Jeritku kemudian.

Asap terus mengepul dari celah di bawah kakiku. Semakin lama semakin melilit tulang rusuku. Menggantikan posisi oksigen di sekitarku. Sesak nafasku ikut menyiksa.

Alat yang terus membunyikan suara bip menariku dari ruang putih tak bertepi. Aku tersadar, terbaring di kasur rawat dengan hidung tersumpal slang alat bantu pernafasan. Kepalaku yang berdenyut menahanku untuk tidak mengingat lebih jauh lagi apa yang sudah terjadi.

"Sayang akhirnya kamu udah sadar?" Aku lantas melitik si pemilik suara yang familiar, ia memasang wajah cemas mengkhawatitkan anaknya.

"Papa?" ujarku. Saat aku bangkit Ayah membenarkan pisusi bantal untuk menyangga punggungku.
"Diamana Mama?" tanyaku lagi.

"Dia baru datang dari Paris, sekarang dirawat karena shock melihatmu." Tatapan Ayah yang khawatir mengosong.

"Apa yang terjadi?" Percuma untuk mencari jawaban di dalam kepalaku karena yang kutemukan hanya denyutan yang menyakitkan.

"Kamu kecelakaan, gegar otak ringan, hanya itu yang Ayah tahu saat ini." Itu cukup untuk mengembalikan beberapa potongan ingatanku sekaligus menyadarkan jika perban melilit kepalaku.

"Bagaimana Ein?" tanyaku terperangah.
Perubahan ekspresi Ayah membuatku semakin cemas, dia membiarkan beberapa detik berlalu hening dan membuatku menunggu dengan perasaan berdebar.

"Pah!" Dalton tiba-tiba datang dengan kepanian.
"Mama masuk ICU!" Keberadaanku dan keadaanku yang sadar membuat perkataan Dalton terdengar ragu. Ayah terkesiap dan segera berdiri dari kursi.

"Ayah akan segera kembali, Mama pasti baik-baik saja!" Ayah pergi diikuti Dalton. Aku ingin mengejar mereka untuk melihat Mama dan mendapatkan jawaban mengenai Weyna, tapi aku tak berdaya. Kakiku lemas dan kepalaku yang dililit perban tak sanggup berdiri tegak degan tanpa harus berdenyut.

Abaikan. Aku tak peduli! aku berusaha turun dari tempatku berbaring setelah melepas slang alat bantu pernafasanku yang kuyakini sudah tak kubutuhkan. Baru kuambil satu langkah, tubuhku oleng, pusing karena melihat ubin lantai berputar-putar mengayun tubuhku hingga terombang-ambing. Jarum infus di tanganku terlepas saat tubuhku jatuh ke lantai.

"Stelo!" teriak sebuah suara.

Wajahnya yang kabur di mataku tak dapat kulihat tapi aku tahu siapa dia, karena aku punya pemancar sinyal di sentuhan kulitnya. Dia membawaku kembali ke atas tempat tidurku. Berteriak memanggil dokter, sementara aku merasakan kemabli terperosok ke dalm lubang, dan terperangkap di ruangan putih tak berujung.

Sugar MintTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang