30» She's the Psychopath

2.3K 108 4
                                    

»Who's Sugar¿ → Is Stevany, as sweet as her ^^
»Who's Mint¿ → look the PoV this chapter¡ He is Mint.

Fero°•.

Di sekolah tadi aku menemui Camelin untuk menanyakan keadaan Stevany yang tidak masuk sekolah beberapa hari. Haruska ia bersikap sampai seperti itu? Apa dia benar-benar terluka? Apa luka di hatinya berasal dari rasa cintanya untuku yang terlalu bersar? Apa lukanya bisa kusembuhkan?

Yang benar saja, aku berharap jadi penawar setelah aku sendiri yang meracuni? Dan Camelin bilang, dia sangat kacau. Aku ingin sekali bertemu denganya. Kuharap sisa-sisa hari terakhir sekolah di minggu ini bisa memberiku keberuntungan dan mempertemukan aku denganya.

Kurebahkan diriku di atas kasur. Kepalaku berat dan merasakan urat-uratnya menegang serta berdenyut-denyut. Tante Masayu alias Uwaku, telah mengetahui dan dia ikut memintaku bertanggung jawab seperti yang dilakukan Larisa dan Stevany. Tapi aku masih merasa tertekan dan belum yakin. Tak satupun yang mengerti aku. Curhat pada Billy seperti berbicara pada badut yang bukanya memberi solusi, malah joged-joged mengibaskan tangan serta bokongnya sambil menyuarakan yel-yel ♪ aku tidak tahu harus apa, kau sudah memberiku masalah ban serep, jangan tambah tentang kisah cinta yang naas ♪ Sialan! aku masih ingat lirik bodohnya dan suaranya juga sumbang bikin diare.

Tiba-tiba aku dikejutkan oleh lonjakan kasur. Aku melirik seseorang yang baru saja menghempaskan dirinya di sampingku dan sekarang memeluku. "Ck!" Aku berdecak lantas menepisnya. But she's groans like a bitch and catch me again!

"I miss to touch you darl." Said Larisa with her flirting sound.

God! She flirting me, wipes my chest and reaches my nape with her mouth. I hate that sound, the bitches's moan, let her go to hell!

Larisa melilitkan lagi lenganya meski sudah kutepis beberapakali. "Kenapa kau selalu bersikap seperti ini?" katanya dengan kesal. Dia ikut bangkit setelah aku duduk. Hal bodoh yang kulakukan hari ini selain dari menitipkan undangan pernikahan aku dengan ular ini pada Camelin untuk diberikan ke Setvany, adalah; tadi aku malah pulang ke mari yang justru merupakan kandang ular tersebut. Tanpa bicara aku meraih jaketku yang tergantung di pintu kamar lalu segera menarik kenopnya dan keluar. Saat kakiku meneruni tangga Larisa berteriak dari balkon. Lalu ketemukan Riko memanggilku dan berlari ke arahku dari dapur. Langkahku terhenti dan mataku fokusku tertuju pada anak itu.

"Papa!" Itu dia yang ia teriakan, sangat menggangguku akhir-akhir ini.

"Berhenti memanggil Om dengan Papa, Papamu adalah Bian dan tidak akan tergantikan!" Aku berbicara seolah dengan anak remaja yang pasti mengerti.

"Jadi Iko hawus panggiw apa dong?" tanyanya dengan polos.

"Om!"

"Papa!" ujar Larisa berbarengan denganku.

Riko mengerutkan keningnya, sedetik kemudian ia terperangah. "Om papa!" ujarnya menggabung kedua intruksi itu. Dia cukup pintar.

"Terserah!" Aku mengangkat tangan dan melengos kemudian.

"Om Papa, aku ikut!"

"Riko panggil dia Papa aja!" teriak Larisa.

Aku menghela nafas dan kembali menatap Larisa yang kini tersenyum licik di atas balkon depanbkamar. Sejurus aku kembali menatap Riko ketika anak itu menarik ujung jaketku dan memohon agar aku mengajaknya.

"Ajak anakmu sayang!" Ular itu kembali berdesis.

Kasihan juga melihat wajah melas anak yang akhir-akhir ini kuacuhkan. Bagaimana jika dia memang anaku? Oh shit! kenapa aku harus berpikir bodoh seperti itu. Tapi tidak ada salahnya juga jika aku mengajaknya, lagi pula aku hanya pergi ke bengkel untuk melepas penat dan mencari udara segar.

Sugar MintTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang