29» Rightness

1.6K 98 2
                                    

Yang ini mah serius apdetan!
×÷-»♠♣♥♦«-SugarMint-»♦♥♣♠-»×÷

Stevany°•.

Teror-teror itu kian meredup setelah Fero meninggalkan aku. Tapi aku tahu bukan berarti psiko itu melupakan aku begitu saja.

Aku tak tahu harus mengatakan apa untuk menggambarkan perasaanku yang amat sangat hancur. Saat Fero mengatakan kebenaranya aku masih menjadi Stevany yang elalu meyakini apa yang diyakininya. Termasuk hal itu.

Aku teramat memepercayainya hingga semua itu berbalik menyerangku, menjadikan kesalahanya jadi luka yang tak terperikan. Aku memberinya kuasa atas hatiku untuk selalu menjaganya. Tapi aku lupa jika dia juga manusia yang tak mungkin untuk tidak melakukan kesalahan. Dan sekarang dia mematahkanya.

Meski mencintai dengan cinta yang luar biasa aku tetaplah manusia biasa. Aku punya hati yang sama dengan hati manusia lainya, hati yang bukan terbuat dari baja, yang kebal akan rasa sakit. Aku pun punya imipian yang juga bisa dikecewakan.

Setelah semua yang kulewati bersamanya. Bagaiaman bisa dia melakukan semua ini padaku?

Sebagian dari diriku kesal dan tak terelakan lagi untuk membencinya. Tapi rasa cinta yang tersimpan jauh di hati kecilku, berusaha tetap menyangkal semuanya. Dan berkali-kali pula aku tersadar jika inilah kebenaranya, rasa cinta itu pun menjadi rasa sakit.

Aku dan Fero putus!

Dia memutuskan hubungan dengan alasan yang lebih dari sekedar menamparku. Dia bilang berpisah denganya adalah melindungiku dari bahaya teror--yang aku sama sekali tidak peduli, asalkan denganya. Dia bilang jika psikisku akan lebih baik, tapi itu bekerja sebaliknya. Semua alasan itu masih bisa kutepis.

Tapi ... mengenai kenyataan...

Fero Ayah kandung dari Riko, aku tak bisa berbohong jika aku sangat kecewa.

Kemarin sore, seorang gadis muda, berkisar umur delapan belasan menemuiku. Dia memperjelas semua yang telah dijelaskan Fero. Dia adalah Larisa. Dia menatapaku penuh harap lalu memintaku untuk tidak mengahalangi Fero untuk bertanggung jawab. Tentu saja, tanpa diminta pun aku akan melakuanya. Bahkan sudah kulakukan. Melerakan Fero untuk dirinya. Aku tak tahu berapa lama gadis itu memendam luka, hingga ia tampak sangat tegar. Mengenyahkan rasa iba pada kilasan luka yang nampak di wajahnya lalu aku memberi tahunya kemungkinan dia akan mengalami apa yang kualami; teror akan menghantuinya setelah bersama Fero. Dan dia tersentak entah takut atau apa, tapi dia kemudian berkata dengan sangat yakin jika dia pasti bisa mengatasinya, lagi pula ada Fero di sampingnya. Ia sangat yakin bahwa tak ada yang perlu ditakutkan selama bersama Fero. Aku juga yakin, karena itulah yang aku rasakan dan Fero lakukan saat bersamaku.

Tapi mengingat Fero akan menjaga Larisa dan anaknya justru membuat hatiku teriris lagi. Aku bukan hanya sekedar kehilangan tamengku tapi aku juga kehilangan morfinku. Refleksiku, sebagian dari diriku.

Pintu diketuk tak membuatku terusik, sekalupun akhirnya terbuka aku tetap bergeming. "Ya elah dek, udaaah nangis mulu, OTW yuk pembagian rapor!" Suaranya berusaha mengabaikan apa yang dilihatnya, mungkin untuk meringankan dirinya sendiri. Wajahku tetap terbenam di bantal. Dari aku lebih ingin mengira Dalto tak punya hati, atau ia lupa rasanya patah hati?

Sudah tiga hari aku tak masuk sekolah dan memilih kesepian di rumah. Itu jauh lebih baik dari pada harus melihat setiap sudut tempat yang mengantarkan ingatan masalalu. Menyakitkan. Lagi pula ujian telah selesai, aku bisa meminta Ayah untuk melanjutkan semester kelimaku di sekokah lain.

Dalton mengeluarkan suara helaan nafas yang cukup panjang. Bersama dengan perasaam menyerahnya ia kembali menuruni tangga tanpa bicara lagi sebelumnya. Dari deru nafasnya saat membuka pintu tadi, kudengar sebuah ritme helaan yang kurang stabil, terlalu cepat. Emosikah? Akankah ia kembali menghajar Fero seperti yang ia lakukan sehari setelah Fero memutuskan aku dengan alasan dia punya anak bastard. Kuharap tidak.

Aku tersenyum miris untuk diriku sendiri. Ternyata aku masih mempedulikanya. Meski aku telah mengisolasikan diriku dari semua yang berhubungan dengan Fero; mem-block line dan BBM-nya dan mungkin aku juga akan mengunci mulutku saat aku melihatnya dimanapun nanti.

Tapi kapan aku sembuh dan bangkit dari rasa sakit ini? Aku sendiri tak tahu. Aku berharap secepatnya.
.

Waktu terasa lambat dan kenangan melukaiku tanpa henti. Siang hari, aku masih bercokol di kasur. Memeluk guling yang terasa dingin. Menulusuri setiap inci spray dengan kuku-kuku di ujung jariku. Rasanya berbeda. Kusadari mulai sekarang dan seteruanya akan seperti ini.

Aku kembali terisak, mengingat malam dimana ia memeluku.

I still remember when he lie down beside me. His arm gave me the peace and warmness. The good warmest ever hug me. The best kiss ever I feel. And hurting more when I hope now I can smell his fragrant musk. His 'mint', my morphine, either my heaven smell. His glare, his throb neeck, his face and some expression on there. I can't forget abaout his grin, smile, sound of his snort or when he cuckling me. The happiness from his joke tickle and slap me. I miss all of them. And the butterfly in my stomach keep life, not yet die. Now I know why he never touch me, cause he was touch the other. Finaly he doubt to hurt me.

Aku sedang meremas spray tepat di bawah jemariku dan menatap langit dengan mata yang perih dan panas ketika pintu kamarku diketuk. Meliriknya dan tak berminta mengatakan apa pun atau memberikan penolakan atau izin bagi seseorang di luar sana. Aku hanya membiarkan waktu berjalan.

Akhirnya ceklikan pintu terdengar, dan Camelin masuk dengan masih menggunakan seragam. Lantas aku memutar tubuhku membelakanginya. Baru saja Camel menghempaskan bokongnya, aku tahu karena kasurku bergoyang. Wangi sayur lengko yang familiar menyeruak memenuhi udara. Sayur lengko buatan Tanteu Anyeu memang selalu membuatku berhasil ngiler.

"Stevany ... kamu belum makan," ujarnya lirih.

Kenapa sih nasibku selalu begini, saat aku bersama Lucas, Camelin datang. Dan sekarang saat aku bahagia dengan Fero, masalalunya kembali dan memberinya masa depan.

"Stev, lo boleh galau, tapi please ... lo gak boleh nyusahin ortu lo dong! kalo lo sakit siapa yang cemas? Nyokap sama bokap lo!" Dan sejak kapan dia benar-benar peduli, sejak kapan juga dia memanggil orang tua dengan bahasa kekinian. Dasar bunglon sometime formal in way, sometimes colloquial!

Tapi apa yag diucapkanya benar. Aku tak boleh terus terlarut dan bersikap yang malah dapat merugalikan orang lain.
Dan Camelin berhasil membujuku makan. Pastinya. Lengko itu menggoda sekali.

"Stev, aku mau ngasih info, lo mau tau gak?" Aku menggantungkan sendok di depan mulutku dan memilih fokus menatapnya.

"Tentang?" tanyaku.

Camelin mengimgit bibirnya, ia terlihat ragu, dan tak segera menjawabku.

"Fero?" tuntutku. Camelin lantas mengangguk. Dari wajahnya sudah hisa kutebak jika kabar yang akan dibawanya bukan sesuatu hal yang menyenangkan. Aku menghendikan bahu mempersilahkanya dan Camelin mulai menghempasakan nafas.

"Fero, will get a marriage!"--tanganku reflek menjatuhkan sendok yang kugenggam pada mangkuk, lalu aku mematung--"A-and he invited you." Camelin mengulurkan undangan merah di atas kasurku.

"Aku pasti datang tanpa butuh membuka dan membacanya!" Aku merebut dan meremasnya, kemudian melemparnya ke tempat sampah di dekat meja belajarku. Meski bukan keslaahanya tapi Camelin terlihat menyesal; merasa dirinyalah yang telah membuatku kembali menangis.

"Sorry...." ujarnya mengelus pundaku.

Aku tak menjawabnya dan memilih untuk memeluknya. Aku menangis di dalam pelukanya. Ternyata aku butuh seseorang untuk mengisi kedudukan Weyna.

Ngegalau bareng Bang Fero


♪Short Short Mini Short alaaa maaak ♪
just singing wkwkwkw!
Chapter pendek kek rok mininya Audi!
But keep Follow and give vomment.
Munkin udah bosan, tapi tetap akan kukatakan Sorry buat typo dan gramma errors ^^

Meski gak yakin bakal ada yang minat sampe ke sana tapi INGAT.


TIDAK MENGHALALKAN PENG-COPY-AN

Sugar MintTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang