21» Stamping psyche

2.5K 145 0
                                    

Memohon kepada Fero untuk tidak melibatkan polisi, aku tak mau membuat kedua orangtuaku khawatir. Fero memang mengikuti mauku untuk saat ini, tapi entah nanti.

Dia memutuskan untuk menemaniku. Apa yang ada di pikirannya aku tidak tahu, tapi yang aku yakin jika dia tidak bisa meninggalkan aku di rumah sendirian.

Sisi positif dari kejadian ini, sikapnya kembali seperti biasa, dia melupakan marahnya—marah yang disebabkan aku menangis yang menurutnya tanpa sebab—jika sampai sekarang ia belum menemukan titik terang penyebabnya.

Dia mengantarku sampai kamar, perlakuan kecil yang seolah mengerti akan ketakutanku. "Kamu tidur gih," ujarnya.

"Kamu mau pulang?" Tanyaku.

"Aku nunggu di bawah." Dia membukakan pintu untuk ku.

"Oke! Aku istirahat," alih-alih menghambur ke tempat tidur aku malah mematung di kosen pintu yang terbuka "kamu juga!" tambahku. Ia memberiku senyum sekilas, apa dia masih marah? Maju dua langkah, berjingjit, lalu kutekankan bibirku pada bibirnya.

"Good night! My knight!" Tersenyum dengan ejekan. Dia membalasku dengan mengangkat salah satu sudut bibirnya saat mendengar aku menyebutnya dengan panggilan aneh—panggilan yang diberikan si cewek sexy di jalanan tadi. Dia melengos setelah aku merapatkan pintu.

Kuhempaskan diriku ke atas kasur, tubuhku tidak langsung diam di tempat, melainkan memantul kecil beberapa saat. Kusapukan pandangan pada setiap sudut ruang kamarku, bulu-bulu kecil di seluruh tubuhku berdiri merasa ngeri pada tembok merah yang merangsang perutku terpilin. Aku takut! Aku tak mau menggangu Fero dan menyusahkannya lagi, lebih baik kutahan letakutanku. Nyalakan headseat untuk mengalihkan fokus telingaku yang menangkap suara-suara aneh, lalu kupejamkan mataku serapat mungkin.

Beberapa detik berlalu tapi, aku masih belum mau tertidur, pikiranku malah bergelut dengan perasaan yang menusuk-nusuk hatiku, perih! Aku tak pernah berpikir jika aku akan mengalami masa hidup dengan banyaknya ketakutan yang menekan hingga aku mengira diriku sendiri mulai tidak waras.

ψ ψ ψ

"Fero!" Aku berteriak dan terbelalak, sementara ia meringis dengan wajah merah dan urat-urat yang meregang di sekitar keningnya, kernyitan di bibirnya mengakat kedua pipinya berkedut. Tangannya gemetar menyentuh pisau pada perutnya, dengan cepat cairan merah tersembul di sekitarnya. Mulutnya terbuka, bukan berteriak melainkan menahan efek tusukan itu sendiri saking sakitnya. Berdebum tubuhnya jatuh, reflek matanya terbeliak ketika pisau yang menancap di perutnya kian menusuk akibat dari tekanan tubuhnya pada tanah.

Aku hanya berteriak-teriak serak karena nafasku tergencat tangisku, aku tak bisa melangkah untuk menolongnya. Tak ada yang mengekangku atau memborgol tanganku. Tapi sesuatu yang kasat mata mengahalangiku. "Fero!" Suaraku serak dan kerongkonganku sakin perih karena terus menjerit.

"FEROOOO!"

Mengerjat, kubuka mataku cepat-cepat dan kudapati kanopi putih. Hawa panas di sekitar dan rasa sakit di hatiku hilang tanpa jejak sejak kubuka mataku. Tapi efeknya masih kurasa, tubuhku basah berkeringat dan lemas menyerangku seketika.

Menjerit, kusingkirkan kain yang menelungkup tubuhku, bergerak gusar mengangkat tubuhku sampai terduduk bersaamaan dengan mulutku yang terus berteriak histeris menatapi kain yang tergeletak di lantai.

Sugar MintTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang