27» My Childish Fear

2.5K 114 6
                                    

Pagi yang dingin diringi gemercik hujan menimpa genting. Ditemani sayup angin yang meniup bau basah embun dan tanah. Damai adalah kata yang begitu tinggi untuk kuraih, satu kata yang terlampau jauh untuk kukejar. Aku mulai mengerti jika tidur tidak memberikan efek yang lebih menyenangkan untuku kali ini dan beberapa hari ye belakang. Seperti burung yang kehilangan setiap helai bulunya, seperti aku perlahan kehilangan beberapa hal dari hidupku, termasuk ketenangan. Terlalu sulit dicerna dalam sekejap, terlalu bebal, aneh, dan menakutkan.

Mengambil posisi duduk saat mataku terbuka, jendela menganga menghembuskan angin segar yang justru membuatku siaga. Menggelepaikan gorden putih transparan sehingga aku bertanya siapa yang membukanya, dan berprasangka jika ada yang masuk. Saat temukan papperbag pizza dan satu cup Mintlatte dalam nampan di atas nakasku saat itu juga kuenyahkan segala persepsi buruk dan kecurigaanku.

Kasurku terlalu menggoda dengan kehangatanya, tapi sepertinya makanan itu jauh lebih memikat, dan tanpa harus turun dari tempat tidurku, kuraih menu sarapan kurang sehat yang disediakan Dalton. Selama yang kutahu tak ada lagi yang mencoba menaruh perhatian untuku dengan sesuatu hal salah selain dia.

Kuteguk minuman di tanganku meski tak habis pikir bahkan cuaca sedang hujan tapi dia menyiapkan minuman dingin. Ya sudahlah tak mengapa, jarang sekali Dalton perhatian begini, kalau aku protes berarti aku tidak tahu terimakasih dan membuatnya kecewa. Aku harus membuang kebisaan yang selama ini kulalukan padanya. Tapi ... bukankah aku juga selalu kecewa pada bentuk perhatianya yang ia tujukan dengan cara usil.

Kubuka kotak pizza dan segera terlempar ke lantai. Kubekap mulutku untuk hal yang menjijikan dan bau busuk ter yang menyengat. Aku tertipu, ternyata isi kotaknya tidak sesuai. Bukan pizza utuh melainkan sepotong pizza, plus di atasnya seonggok daging mentah menyerupai perut dengan bulu hitam dan basah karena darah. Entah daging apa itu, tapi bulu dan bau ter-nya membuatku berspekukasi jika itu tikus got. Yang membuatku bergidik adalah cairan merah yang meleleh seolah menggantikan peran saus. Ewh! perutku bergejolak.

Aku segera pergi ke kamar mandi dan mengeluarkan segala isi perutku. Bersuykur saat melihat Mintlatte keluar dari muluku, tak ada yang tahu sesuatu yang mungkin dicampurkan ke dalamnya. Dalam hal ini aku melihat kebodohan si pelaku.

Kembali ke kamar dengan mengumpulkan keberanian yang begitu sulitnya. Mau tak mau, tanganku bergetar kala aku menyentuh box yang masih tergeletak di lantai, tanpa memandangnya aku menutupnya dan segera membuangnya ke dalam bak sampah di depan rumah. Aku berharap petugas kebersihan komplek rumahku segera datang dan membawa benda itu menyingkir dari sini.

Selesai mandi dan berseragam aku tak memiliki niat untuk sarapan. Karena aku tak bisa menelan jenis makanan apapun saat kelebat menjijikan itu mampir ke dalam kepalaku, dan mungkin juga karena efek gegar otak.

"Stevy makan dulu nak!" seru Ayah sambil melewati kusen dapur.

Aku menggeleng dengan cepat tanpa peduli Ayah melihatnya atau tidak. "Kepalaku masih pusing." Aku tahu itu jawaban yang tak berelasi, tapi itu satu-satunya yang terpikir olehku.

"Sloppy cepat makan hey!" Kali ini Mama yang berteriak dan mencondongkan diri di frame dapur. Lantas aku kembali menggeleng, untuk menolak ajakan sekaligus merespon pangilan menyebalkan yang diberikan Mama. Jika dia selalu memanggilku dengan kata itu, kenapa Mama tak menamaiku Sloppy Leonard saja. Saat aku mengeleng saat itu pula Mama mengatakan ketidaksetujuanya melalui matanya yang terbuka lebar dan kedua tangan terpasang di pinggang.

"Aku bisa makan di sekolah Ma, aku tidak mood sekarang." Kurasa dia kecewa, dan sudah seharusnya dia kecewa karena secara tak langsung aku menolak makananya dan lebih memuja masakan Bi Odah di kantin.

Sugar MintTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang