37» Torture!

1.7K 93 0
                                    

Stevany °•.

Aku tak ingat caranya bagaimana bisa aku sampai berada di tempat ini. Tangan dan kakiku terikat tambang, tersekap di suatu ruangan yang pasti akan sepenuhnya gelap jika saja jendela berbesi yang ukuranya kecil tak ada di dinding. Ruangan ini lengang, berdebu dan dipenuhi sarang laba-laba. Membuat hidungku tak henti-hentinya merasa gatal.

Awalnya aku hanya merasa takut pada kegelapan seperti biasa yang aku rasa dan mencemaskan gejala asamaku yang bisa kambuh kapan saja mengingat tebalnya debu di sini. Tapi setelah sosok berjubah hitam muncul dari balik pintu, kemudiam melempar hoodie dan topengnya sambil melangkah terpincang mendekatiku, aku sadar hidupku tengah terancam.

Bulu-bulu kecil di tubuhku berdiri, menggelengkan kepala berusaha menghilangkan semua delusi ini, walau aku juga menambahkan kerjapan mata tapi hasilnya tetap tak berubah, aku masih bisa melihat sosok samar itu terus mendekat.

Menatapnya dengan tak percaya setelah berkas terang sang rembulan menerpa wajahnya ketika ia melewati jendela. Gaun pengantinnya yang seharusnya panjang menjuntai ke lantai hanya tinggal selutut, compang-camping retas tak karuan. Warnanya pun tak lagi putih, bernoktah selain tanah juga terciprati cairan berwarna merah. Di kakinya yang pincang, terdapat luka tebuk bekas tembakan pistol pada bagian betisnya--yang dihiasi aliran darah mengering sampai ke tumitnya.

Larisa benar-benar berdiri di hadapanku.

Tak ada watu untuk memikirkan kenapa orang gila itu ada di sini dan bisa berkeliaraan bebas. Aku pun dengan menyandar ke dinding berusaha berdiri, aku tak bisa berjalan kecuali meloncat, tapi belum sempat aku melakukan itu, aku kembali terjatuh. Merangkak berusaha pergi dari psycho yang tercopak-capik semakin mendekat ke arahku.

Aku merayap seperti sedang melakukan latihan kemiliteran, tapi baru saja aku berhasil menggeser tubuhku tak seberapa jauh, aku kembali tertarik.

Cengkaramanya yang kasar memarik kakiku, sampai dadaku bergesekan dengan kerikil kecil dan debu-debu di lantai hitam kumal di bawahku.

Dalam hentakan keras dia menarik rambutku ke belakang sampai tubuhku ikut terangkat dan akhirnya bagian belakang kepalaku membentur dinding. Lantas aku meringis untuk gedukan kerasnya.

"Kenapa? Kenapa kau melakukan semua ini?" Gertakku sambil memukul perutnya dengan kedua tanganku yang terikat menjadi satu.

Bukanya menjawab alih-alih ia kembali menghantamkan kepalaku ke tembok lebih kerasa lagi, berdenyut dan telingaku berdenging, aku tak bisa lagi menggertak dengan kata-kata kecuali mengeluarkan ringisan, sejurus kemudian ia memitar sebuah pisau teracung ke pipiku.

"Arrrrgggggh!" Eranganku nyaris seperti teriakan, keluar saat ujung tajam pisau itu menyayat pipiku. Dingin dan karat dari darah yang meleleh bisa kurasakan. Mengalir sampai ceruk leher dan menetes ke sweaterku.

"Aku akan melenyapkanmu perlahan-laha." Bisiknya berdesis, membuat bulu-bulu kecil sekitar tengkukku serempak meremang lagi.

Dia meraup ujung tambang--yang cukup besar--yang tergeletak di sudut ruangan, dengan penuh emosi ia memecut tubuhku berkali-kali. Setelah itu wajahku menerima jotosan-demi-jotosan kepalan tangannya, memukuliku hingga babak belur. Perih yang berkoar dari setiap luka di tubuhku memanas, membakarku hingga bergetar. Rasa sakit itu mendesakku untuk meminta pengampunan, tapi sisi lain dari diriku menolaknya.

Aku harap asmaku kambuh saja, pingsan dan membuatku tak lagi merasakan bebalnya rasa sakit ini, sepertinya jauh lebih baik. Namun seperti aku memang harus melalui semua ini, buktinya aku masih kuat terjaga dari biasanya.

Kepalaku kembali terantuk setelah ia menyugun rambutku ke atas dengan kasar, sampai tulang di dekat telingaku bergeser dan membunyikan 'tek' cukup kera. Aku merintih setiap detik dan meninggikan nadanya saat tubuhku menerima serangan yang cukup menyentak.

Sugar MintTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang