24» Kicked Kick-ass

2.6K 112 0
                                    

Fero mengantarku sampai beranda rumah. Aku masih berdiri di samping motornya.

"Udahan yah?" ucapnya.

Huaaaaa apa dia minta putus? Aku menggeleng kuat dan Fero merengut.

"Masa kamu mau putusin aku gitu aja, kita kan udah jalan hampir setahun, kemarin aku cuma ngajak break, dan kalo kamu masih mempermasalahkan Galang aku tetap pada alasanku, jika aku gak ada apa-apa sama Galang!"

Hue! Aku mau nangis nih. Namun ucapanku malah membuat kerutan vertikal di tengah kedua alisnya mengencang seraya Fero memutar bola matanya.

"Maksud aku udahan break time-nya!" Dia mengetuk kepalaku yang menampung otak yang kebanyakan begonya.

Aku tersenyum.
"Kamu kangen sama aku ya?" tanyaku kemudian.

Fero mengangguk, meski dia memakai helm tapi aku tahu jika dia menatapku, aku bisa merasakanya hingga menembus ke dalam hatiku.
Kulepasakan pelindung kepala yang menghalamngi wajah tampannya, dan Fero ikut membantu ketika benda itu agak sulit untuk dicabut.

"Ayo!" Kutarik dia untuk turun dari motornya lantas Fero terlihat berpikir.
"Kalo kangen sama aku, nginep!" Tarikanku otomatis dihentikannya.

"Orang tua kamu bisa jantungan!" ujarnya.

Kuhendikan bahu, "Mereka lagi ke Jogja!"

"Terus?" tuntutnya. Itu penolakan halus untuku.

"Ya kamu temenin aku tidur."

"Hah?" Fero tertohok.

"Kamu gak khawatirin aku?" Nada bicaraku memelas.

"Kan ada Dalton!" sanggahnya dengan cepat. Bagaimana cara menjelaskan maksudku yang sebenarnya.

"Ih kan dia gak tahu soal si peneror!" elaku lagi.

Setelah beberapa detik merenung, akhirnya ia menghela nafas lalu menyimpan helmnya di atas tangki motor, kemudian tarikanku terasa mudah untuk mnyeretnya ke dalam rumah.

Setelah melewati minggu lalu yang saling memberi jarak, rasanya bercumbu adalah hal yang pantas kudapatkan sebagai imbalan.

Dia bilang dia akan selalu menerimaku. Dia akan selalu ada di sampingku. Sekarang dia memelukku, erat sekali. Aku yakin dia pasti sudah diusir oleh Ibu dan dicoret dari kandidat calon mantu terbaiknya--jika saja kedua orang tuaku berada di rumah sekarang. Sayangnya mereka pergi dengan tenang, mengira putrinya dalam keadaan baik-baik saja. Aku tak menyalahkan hal itu, karena aku berharap demikian. Aku baik-baik saja. Sangat.

Hangat dadanya menempel di punggungku, tak jauh beda dengan suam yang ditebarkan oleh lilitan tanganya di perutku. Tak ada komitmen lagi jika aku sampai tergoda lebih jauh. Namun tidak, ia sama sekali tak menunjukan hasratnya padaku. Apa karena beberapa minggu ini kekasihnya telah berubah menjadi wanita setengah gila? Tersunging senyum di mulutku untuk pikiranku barusan--yang menyebut diriku sebagai wanita. Apa aku menua dalam waktu sejurus setelah mendengar argumen nekatnya untuk menikahiku?

Dia bilang dia bisa menukarkan bengkel dengan sejumlah uang, berhenti sekolah, membawaku pergi menjauhi kota--bahkan negara kalau perlu--setelah bersumpah mengucapkan janji suci seumur hidup di atas altar.

Aku tertawa dan membuatnya tak setuju dengan responku. Dia bilang dia serius. Aku berterimakasih atas fantasinya menyelamatkan hidupku dari orang gila yang berusaha merusak mentalku, tapi membayangkan reaksi ibuku, aku memilih untuk tertawa lagi saja.

"Lagi pula aku tak yakin nanti kamu mau menyentuhku, karena sekarang pun kamu nganggurin aku," ujarku menghapus kesunyian. Dan aku berharap suaraku tak terlalu mengiba.

Sugar MintTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang