Takdir memang tak bisa dihindari. Sekuat apapun kita menyangkal dari kenyataan yang ada, namun tetap saja pada akhirnya usaha kita akan berakhir pada ketetapan yang telah ditentukan oleh sang maha kuasa.
Benci, mungkin kata itu bukanlah kata yang tepat untuk mendeskripsikan suatu hal yang tidak kita sukai, melainkan kata yang hanya sering kita ucapkan ketika ketidaksukaan mendarah daging saat suatu emosi mengendalikan diri kita. Bukan soal suka atau tidak suka, melainkan kata itu terkadang bisa menjadi boomerang bagi seseorang yang menjadikan kebencian itu sebagian dari hidupnya. Karena bagaimanapun, tidak ada kebencian yang abadi. Kata itu hanya ada ketika kita merasa emosi, namun pada akhirnya, kebencian itu justru membawa kita pada penyesalan yang akhirnya merubah cara pandang seseorang terhadap orang yang dibencinya.
Lima belas menit berlalu, motor besar itu terparkir dipelataran sebuah rumah besar yang beberapa hari belakangan sering dikunjunginya. Julian membuka helmnya, menghirup udara segar sejenak menunggu sang penumpang menuruni motornya.
Hingga beberapa detik, tidak ada pergerakan dari wanita itu. Ia tetap pada posisinya. Melingkarkan tangannya pada pinggang sang pria dan menjadikan punggungnya sebagai bantalan kepalanya. Sejak tadi, wanita itu memang tidak mengeluarkan suaranya sedikitpun selama perjalanan. Ia justru terdiam seperti apa yang dilakukannya sekarang.
"Hel.." panggil Julian.
Tidak ada jawaban dari wanita itu. Nafasnya begitu teratur, ia dapat merasakan hembusan nafasnya dan detak jantungnya. Ia meneguk salivanya, memberanikan diri untuk membalikkan wajahnya dan tubuhnya, mengecek keadaan sang wanita.
Satu tangan memegang lingkaran itu di perutnya, sementara tangan lain, ikut memutar memastikan bahwa tubuh itu tidak terjatuh akibat pergerakannya. Dengan perlahan, mata itu berhasil menangkap sosoknya. Nafasnya tertahan ketika menatap wajah itu, jantungnya berdetak jutaan kali lipat lebih cepat dari biasanya. Ini pertama kalinya ia melihat wajah lelah itu.
Beberapa helai rambut ia singkirkan dari wajahnya. Hati kecil mengatakan ingin sekali menghentikan waktu, namun ia tidak bisa membiarkan ini berlama-lama. Bukan hal yang pantas jika ia memanfaatkan situasi ini disaat wanita itu sedang bersedih.
Julian menepuk pipinya pelan. "Rachel, Hel.." panggilnya.
Mata itu terbuka. Bahkan dalam sepersekian detik, mata itu menangkap keterkejutan dari matanya. Rachel menjauhkan tubuhnya dan segera turun dari motor yang ditumpanginya. Ia terlihat gugup, jemarinya merapikan beberapa helai rambut yang dirasa acak-acakan akibat tertiup angin.
"Em, sorry. Gua gak bermaksud..."
Julian tersenyum. "Gak apa-apa. Gua ngerti kok." potong Julian. Ia menghembuskan nafasnya. Pandangannya tertuju kepada rumah yang ada dihadapannya. "Masuk gih, lo butuh istirahat."
Rachel mengangguk. Ia tidak berani menatap mata tajam itu. Ia terlalu malu akan apa yang diperbuatnya selama perjalanan tadi. Beruntung, wanita itu tidak terbiasa mengiler. Sehingga harga dirinya tidak terlalu jatuh dihadapan pria itu. Namun tetap saja, yang dilakukan olehnya hari ini benar-benar memalukan harkat dan martabatnya sebagai seorang wanita. "Em, gua masuk dulu."
"Iya selo aja. Masuk sana."
Rachel melangkahkan kakinya beberapa langkah, setelah itu kembali memutar tubuhnya. Pria itu masih setia menunggu kepergiannya. "Kenapa?"
"Lo gak mau mampir dulu?"
"Gak usah. Gua balik aja. Makasih tawaran lo."
Rachel mengangguk sembari mengulum bibirnya. Kakinya kembali melangkah, namun kembali terhenti ketika Julian akan memakai helmnya. "Lo beneran gak mau mampir?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Rachel Dan Julian
Teen Fiction"Dingin. Gua tau lo kedinginan. Gua gak bisa hapus setiap kesedihan yang ada di ingatan lo, tapi setidaknya, gua bisa ngelindungin lo dan hapus air mata lo." -Julian. Hanya kalimat itu yang mampu diucapkannya. Tak banyak, namun mampu membuat Rachel...