Mentari kembali dan terus berganti dengan kegelapan yang senantiasa menyambut kedatangannya. Gelap dan terang, itulah keadaan sebenarnya dari kedua ciptaan tuhan tersebut. Keduanya saling menyapa kala bertemu dan berpamitan kala berpisah, bekerja beriringan menemani hari yang selalu menyapanya. Di ujung sana, kedua insan itu terus bergantian mencuri pandangannya tanpa ada seorang pun dari keduanya yang mencurigainya.
Hari terus berganti, sudah beberapa hari sejak kepulangan Julian dari rumah sakit, Rachel tak pernah menampakkan dirinya di hadapan pria itu selain di sekolah. Bahkan tak hanya itu, posisi duduk yang sebelumnya dibenci Rachel kini mulai dirindukannya. Julian berpindah tempat dan Wina mulai kembali mengisi kekosongan tersebut.
Ditatapnya lembut pria itu. Pembebat dan bidai yang sebelumnya di gunakan, sudah tak lagi menempel menyangga tangannya. Kondisinya sudah membaik, hanya saja ia masih belum bisa menggerakkan tangannya untuk hal-hal yang berat.
Setelah pengusiran halus yang dilakukan Julian beberapa hari yang lalu di rumah sakit, Rachel benar-benar kehilangan semangatnya. Ia selalu mengunci diri di kamar usai kembali dari sekolah, tak ada yang di kerjakannya bahkan sekedar turun untuk memenuhi kekosongan perutnya pun ia tak mau melakukannya. Bahkan tak hanya itu, usaha yang dilakukan oleh Raihan akhir-akhir ini pun seakan tak berdampak besar pada dirinya. Sesekali, ia selalu menyempatkan diri untuk berkunjung, namun setelah itu tak ada yang berbeda dari sebelumnya. Bahkan keberadaan Bona yang akhir-akhir ini sering ditemuinya, hal itupun tak berdampak besar untuknya. Ia hanya menampakkan senyumnya, namun hatinya tak mampu tersenyum seperti apa yang ditunjukkannya. Sejak saat itu, kesedihan benar-benar mendominasi kesehariannya.
Kali ini, wanita itu kembali melakukan hal yang sama. Rachel terlihat tak bernafsu untuk menyantap makanan yang ada di hadapannya. Matanya terus mencuri pandang ke arah pria yang sedang tersenyum bersama teman-temannya. Wina yang memerhatikan tingkahnya itu hanya bisa memandang Rachel lelah. Matanya bergantian melirik Rachel dan Mie yang sudah mulai membengkak di tempatnya. Lantas, ia menghela nafas kala mengetahui arah pandang sahabatnya. "Hel, are you okay?" tanya Wina lembut. "Kita bisa pindah kok kalau lo gak nyaman duduk di sini."
"Gua baik-baik aja kok, setidaknya dengan cara ini gua bisa ngeliat dia lebih lama."
"Hel-"
"I'm fine Win, no problem. Keep calm okay?" ucap Rachel menenangkan.
Wina mengangguk ragu sebagai tanda persetujuan. Namun selang beberapa saat setelah itu, ia benar-benar sudah tidak tahan melihat semuanya. Sikap Julian yang begitu dingin kepada Rachel akhir-akhir ini begitu membuatnya muak, jika bukan karena Rachel yang selalu menahannya Wina jelas akan memaki pria itu secara gamblang sejak lama. Namun pria itu sungguh beruntung, sahabatnya itu selalu saja berpihak padanya. Tapi tidak kali ini, Wina bangkit dan menghampiri meja itu dengan sebuah gebrakan yang terdengar begitu keras, membuat seluruh pasang mata yang ada di sana tertuju padanya.
Bragg!!!
"Mau lo sebenernya apa sih, Jul?!" tanya wina to the point. "Sumpah ya, gua gak ngerti lagi sama sikap bodoh lo ini."
Abel langsung bangkit dari tempatnya menenangkan Wina yang terlihat begitu emosi. Sementara Julian, pria itu malah tak acuh dan membuang pandangannya asal. "Win-"
"Lepasin gua Bel, lo sendiri tau kan keadaannya gimana. He is too coward to avoid everything, you know?"
"Iya gua tahu, tapi kita bisa bicarain ini baik-baik kan?" jelas Abel.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rachel Dan Julian
Teen Fiction"Dingin. Gua tau lo kedinginan. Gua gak bisa hapus setiap kesedihan yang ada di ingatan lo, tapi setidaknya, gua bisa ngelindungin lo dan hapus air mata lo." -Julian. Hanya kalimat itu yang mampu diucapkannya. Tak banyak, namun mampu membuat Rachel...