Hari senin kembali tiba, saatnya kembali kesekolah, menjalani aktivitas rutin yang menguras kemampuan berfikir seseorang, baik itu kemampuan akademis maupun non akademis. Selain itu, hukuman pertandingan kemarin pun dimulai pada hari ini. Rachel memenangkan pertandingannya dengan selisih satu point didepan Valeryan setelah menyelesaikan permainan akhir yang dipertandingkan.
Awalnya, Rachel sempat putus asa karena Valeryan sulit sekali untuk dikalahkan. Apalagi beberapa permainan memang menjadi point utama bagi kemenangannya. Banyak berbagai permainan yang sudah dikuasainya, namun takdir berkata lain. Dengan sedikit kecerdasan yang Rachel lakukan, Valeryan akhirnya mampu terkalahkan olehnya. Ia berhasil mengelabui sang lawan dengan berbagai taktik dan strategi yang dilakukannya. Sehingga, mau tidak mau hari ini ia harus meninggalkan mobil kesayangannya dan beralih mengendarai sepeda lamanya.
Ia sempat bersungut-sungut sebelum itu, namun akhirnya ia jalankan juga. Sebagai pria yang bertanggung jawab, Valeryan memang harus melaksanakan hukuman tersebut. Memang sih jarak antara rumah dan sekolah tidak begitu dekat, namun mau bagaimana lagi? Lagipula Valeryan kan anak olahraga, jadi apa salahnya jika menambah aktivitas mengayuh sepeda dipagi dan sore hari? Toh, hal itu justru akan menambah stamina dan kesehatannya, jadi tak rugi jika ia melakukan hal tersebut.
Udara pagi kembali menggelitiknya, menerbangkan beberapa helai rambutnya yang membalut cerahnya pagi ini. Mentari terlihat ceria menyambut pagi, sinarnya yang terang menerangi bumi menggantikan sang bulan dimalam hari. Rachel berjalan menuruni angkutan umum yang ditumpanginya, memerhatikan sekelilingnya dan kembali menurunkan pandangannya. Mood baik kembali tersingkirkan dari kamusnya, mengingat beberapa hal yang kembali menghantuinya.
Sudah beberapa hari ini Rachel tidak pernah bertemu dengan Julian. Pria itu tidak pernah menginjakkan kakinya sejak terakhir kali pertengkaran hebatnya terjadi. Ia seakan-akana menjauhinya, menghilang tanpa kabar, tanpa ada seorangpun yang tahu keberadaannya. Semua orang bungkam, kompak mengatakan bahwa mereka tidak mengetahui apa-apa. Bahkan ketiga temannya pun tidak tahu alasannya.
Terakhir kali Rachel berbincang dengan Abel, ia justru meminta maaf kepadanya. Ia meminta maaf karena membohonginya tempo hari perihal Julian yang check up ke rumah sakit. Ia meminta maaf soal itu. Selain itu, Abel hanya memberitahukan bahwa Julian sedang berada dibandung untuk mengurusi suatu hal. Entah urusan apa yang diperbuatnya, namun Abel bilang kepadanya untuk tidak memberitahukannya kepada siapapun bahwa ia yang memberitahukannya.
Langkah kaki memenuhi pendengarannya. Ia berjalan sendirian melewati lorong sekolah yang terhubung dengan kelasnya. Menurunkan pandangannya dan menatap ujung sepatunya mantap.
Sampai saat ini, rasa bersalah itu masih mengerubunginya. Mengikutinya seperti bayangan yang selalu mengganggu disetiap harinya. Berharap bahwa kata maaf akan didapatkannya dari seorang Julian.
Ia tiba dikelasnya. Menghela nafasnya dalam-dalam dan kembali melangkah menuju kursinya di barisan kedua dari paling belakang. Langkahnya terhenti, membuat senyumnya mengembang seketika saat melihat seseorang yang ada dihadapannya tengah terduduk sembari memainkan rubik favoritenya.
Mata itu kembali bertemu setelah sekian lama, namun hanya sejenak. Julian langsung membuang pandangannya. Mengembalikan fokusnya untuk tetap menyelesaikan pekerjaannya.
Rachel segera melangkah, meletakkan ranselnya dan menyapanya sejenak. "Hai.."
Tidak ada jawaban disana.
Rachel mendudukkan dirinya ditempatnya. "Gimana keadaan lo? Gua denger lo sakit. Udah baikan?"
Bukannya menjawab, pria itu malah membawa tasnya dan meminta Wina untuk bertukar tempat dengannya. Ya, sejak Abel meminta maaf kepadanya perihal kebohongannya, sejak saat itulah keduanya berbaikan. Rachel hanya bisa memerhatikannya, menghela nafasnya dan menerima perubahannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rachel Dan Julian
Jugendliteratur"Dingin. Gua tau lo kedinginan. Gua gak bisa hapus setiap kesedihan yang ada di ingatan lo, tapi setidaknya, gua bisa ngelindungin lo dan hapus air mata lo." -Julian. Hanya kalimat itu yang mampu diucapkannya. Tak banyak, namun mampu membuat Rachel...