"Permisi bu. Maaf saya telat." Semua mata langsung tertuju kepada pria tersebut kecuali Rachel. Ia sibuk membalik-balikkan bukunya sejak tadi.
Karena sejujurnya, Rachel masih merasa tidak mood untuk berada dikelas barunya saat ini. Ternyata ia merasakan, bagaimana rasanya kehilangan sahabat. Meskipun hal itu pernah ia rasakan dulu, namun kali ini benar-benar terasa. Mungkin karena faktor kedewasaan.
"Ya sudah, cepat duduk." Perintah bu Maya. "Untung kamu pintar."
Julian mengabaikan pujian yang diberikan gurunya. Entah mengapa ia tidak pernah suka jika ada yang memujinya pintar. Menurutnya, semua orang bisa mendapatkan gelar itu jika ia memang mau berusaha.
"Duduk dimana bu? Orang udah penuh semua tempatnya." Ucap pria tersebut.
Bu Maya langsung mencari-cari bangku yang kosong, sampai akhirnya ia menemukannya.
"Kamu duduk disana saja." Ucap bu Maya sambil menunjuk Kursi yang ditempati Rachel.
Julian yang melihatnya hanya tersenyum ketika melihat siapa yang ada di sana. Ternyata, tidak sia-sia Abel lebih memilih duduk bersama Wina daripada Raffa. Senyum lebar terlukis di bibirnya.
"Baik. Terimakasih bu."
Julian langsung melangkahkan kakinya ketempat yang tersedia. Ia langsung duduk disamping Rachel. Meletakkan tasnya dan menatap lurus ke arah papan tulis yang tersedia.
Seketika, Mata Rachel terbelalak saat melihat siapa yang ada disampingnya. "Lo?! Ngapain disini?" Tanya Rachel.
Suara lantang tersebut terdengar diseluruh penjuru ruangan. Membuat semua pasang mata menatapnya saat ini. Tak terkecuali bu Maya.
"Tolong jangan berisik." Ucap Maya. "Ada apa Rachel?"
Rachel terkesiap. Belum usai keterkejutannya akibat Julian, kini sang guru kembali memanggilnya. Tak heran jika guru tersebut mengetahui namanya, karena bagaimanapun, ia pernah mengajarnya di kelas sepuluh. Dan Rachel merupakan siswi yang dikenalnya. Oleh sebab itu, wajar jika wanita itu mengetahui nama Rachel.
"Em, maaf bu. Tapi, dia kok duduk sama saya ya, Bu?" tanya Rachel sopan.
"Saya yang menyuruhnya duduk disana."
Mata itu kembali membulat. Entah bagaimana jadinya jika ia harus duduk bersamanya. "Tapi bu, dia kan laki-laki, masa duduk sama saya yang perempuan. Ntar kepribadiannya berubah, lagi Bu.."
Seluruh siswa terdiam sejenak, dan dalam hitungan sepersekian detik, tawa memenuhi seisi ruangan. Beberapa murid ada yang tertawa puas sembari mengejek ucapan Rachel yang menyimpang. Tidak ada yang salah sebenarnya jika ia berfikiran seperti itu, namun rasanya kecil kemungkinan jika hal terjadi.
"Sudah, diam semuanya!" kalimat itu berhasil membungkam seluruh siswa. "Rachel, kamu jangan mengada-ada. Lagi pula, tidak mungkin hal itu terjadi. Sudah, kamu terima saja dan ikuti pelajaran dengan tenang."
"Tapi bu.."
"Jangan banyak tapi tapi.. Sudah, kalian jangan membuat keributan."
Rachel hanya bisa pasrah dengan keadaannya. Kini orang yang benar-benar ingin ia jauhi malah berada di sampingnya saat ini.
Mata indah milik Rachel melirik Julian yang terlihat sedikit terkejut dengan ucapan Rachel sebelumnya, namun tak lama setelah itu, sang pria hanya menggelengkan kepalanya dan menarik kedua sudut bibirnya tipis. "Bodoh banget si lo.."
Rachel mendengus kesal dan mengalihkan pandangannya kebuku yang sejak tadi ia bolak balikkan. Melampiaskan seluruh rasa kesalnya disana tanpa menghiraukan pria yang aa disana.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rachel Dan Julian
Teen Fiction"Dingin. Gua tau lo kedinginan. Gua gak bisa hapus setiap kesedihan yang ada di ingatan lo, tapi setidaknya, gua bisa ngelindungin lo dan hapus air mata lo." -Julian. Hanya kalimat itu yang mampu diucapkannya. Tak banyak, namun mampu membuat Rachel...