Suasana hening tercipta. Julian memasukkan beberapa pakaiannya kedalam ransel yang akan dibawanya besok. Tidak banyak, hanya dua atau tiga potong. Toh, pakaiannya banyak disana. Sehingga, ia tidak perlu repot-repot membawa pakaian yang banyak untuknya.
Matanya terhenti ketika melihat sebuah gelang yang ada di lemarinya. Ia menghela nafasnya berat. Mengambil gelang tersebut dan mendudukkan dirinya disisi ranjangnya. Memerhatikan benda itu lamat-lamat dan seketika, bayangan tentangnya kembali muncul di fikirannya. Bayangan tentang betapa harmonisnya hubungan mereka di masa lalu, hingga akhirnya saat itu terjadi. Saat dimana wanita itu mengungkapkan perasaannya kepada Julian.
Ia mengusap wajahnya. Memijit pelipisnya pelan dan kembali meyakinkan dirinya. Ia harus bisa menghadapi ini. Besok adalah pertemuan mereka kembali setelah beberapa tahun lamanya. Ia hanya bisa berharap jika wanita itu akan memaafkannya nanti.
"Kania.." Gumam Julian.
Ia melangkahkan kakinya menuju balkon kamarnya. Menghirup udara segar untuk sekedar menjernihkan fikirannya.
Angin bersembus sedemikian rupa, membawa ketenangan yang menyejukkan jiwa. Membelai lembut tubuhnya, menyapa sang malam yang menggantikan cahaya siang dibumi.
Julian menatap langit lurus. Menatapnya dengan penuh harapan yang akan menangani rasa khawatirnya. Harapan yang dapat membuat segalanya baik-baik saja setelah apa yang pernah terjadi. Harapan yang dapat menciptakan kebahagiaan untuk setiap orang dimasa yang akan datang.
Bukannya ia tidak senang atau bagaimana ketika mendengar kabar bahwa wanita itu telah siuman dari komanya setelah dua tahun lamanya, namun ia hanya khawatir jika kehadirannya justru akan memperburuk keadaan.
Mentalnya masih belum siap menerima kenyataan bahwa sahabatnya itu pernah menaruh perasaan lebih terhadapnya. Dan kini, ia hanya bisa berharap jika esok adalah hari baik yang akan memperbaiki hubungan mereka seperti semula. Hubungan yang tercipta tanpa ada unsur kecanggungan atau apapun itu.
"Gua seneng denger kabar kalau lo udah siuman dari koma lo. Tapi gua ngerasa belum siap buat ketemu lo. Gua takut keadaan lo bakalan memburuk setelah kehadiran gua." Ucapnya.
Pandangannya kembali teralihkan dengan gelang yang ada ditangannya. Ia kembali meyakinkan dirinya bahwa semuanya akan baik-baik saja besok. Ia tersenyum, meyakinkan dirinya dengan hal-hal positif yang akan terjadi. "Gua harap, semuanya akan baik-baik aja besok."
Nada dering pertanda telepon masuk berbunyi. Menghentikan lamunannya dan mengembalikan fokusnya seperti sedia kala. Julian melangkahkan kakinya, mengambil ponsel yang berada di atas meja.
Incoming Call
Keju k-Raff
Julian mengernyit sebentar lantas segera menslide tombol hijau dilayarnya, penasaran dengan apa yang ingin di bicarakan oleh saudaranya itu. Namun siapa sangka, pada saat yang bersamaan sambungan itu terputus begitu saja. Membuat Julian kesal dan heran melihat tingkahnya."Kurang kerjaan banget nih orang."
Sebelum ia menelepon balik, Julian memutuskan untuk mengecek beberapa pesan masuk yang ada di aplikasi Whats App nya.
Ia memerhatikan satu persatu pengirim pesan yang tersedia. Mulai dari ketiga temannya hingga group yang selalu membuatnya tertawa terbahak bahak bersama Ali dan yang lainnya tertera disana. Bahkan nama Vinka pun tercantum disana. Ia menggulirkan layarnya secara perlahan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rachel Dan Julian
Teenfikce"Dingin. Gua tau lo kedinginan. Gua gak bisa hapus setiap kesedihan yang ada di ingatan lo, tapi setidaknya, gua bisa ngelindungin lo dan hapus air mata lo." -Julian. Hanya kalimat itu yang mampu diucapkannya. Tak banyak, namun mampu membuat Rachel...