PART 15

360 29 0
                                    

Keheningan memenuhi ruangan ini. Hanya rintihan rasa sakit yang terdengar disana. Mengisi keheningan dan kesunyian yang melanda.

Raffa mengobati beberapa luka yang ada di wajah sahabat sekaligus saudaranya itu. Merawatnya dengan baik, seakan Julian adalah pasien sungguhannya. Dengan perlahan, ia membersihkan luka itu dengan alkohol. Mengobatinya dengan perlahan dan hati-hati.

Omong-omong soal saudara, Raffa dan Julian memang bersaudara. Ayah Raffa adalah kakak dari ayahnya Julian, oleh karena itu, tak heran jika Raffa terkadang lebih dekat dengan Julian daripada yang lainnya, Abel dan Ali. Karena bagaimana pun, ia lah yang selalu mendengarkan curahan hati dari saudaranya itu. Memberi tanggapan, dan mencari solusi atas apa yang menjadi permasalahan keduanya.

"Aduh.." ringis Julian. "Pelan-pelan kenapa?"

"Ini udah pelan, Jul. Mau gimana lagi coba? Lemah banget lo." protes Raffa.

Raffa membuang kapas yang digunakannya tadi kedalam tong sampah.

Perlu kalian ketahui, Raffa adalah orang yang pandai dalam mengobati luka diantara ketiga temannya. Ia lebih telaten dan sabar jika menyangkut soal obat-mengobati. Alasannya, ia sering terluka dulu akibat kenakalannya. Oleh sebab itu, ia jadi mengerti akan hal itu karena terbiasa.

Berbeda dengan Abel yang menginginkan menjadi seorang dokter, ia justru masih kaku dengan aktivitas dokter yang seharusnya pandai mengobati. Ia lebih mengerti ilmunya daripada praktiknya. Mungkin karena belum terbiasa, oleh sebab itu ia tidak se-ahli dan se-handal Raffa.

"Nih.." Abel memberikan plester yang telah disesuaikan olehnya dengan luka yang ada di salah satu sisi hidungnya.

"Lagian, lo ada masalah apa sih sama dia? Kok dia bisa mukulin lo gitu." tanya Raffa.

"Gak tau gua. Gua aja heran sama dia."

"Es batu siaapp..." ucap Ali dari ujung pintu. "Taro di mana nih?"

"Taro sini aja."

Ali meletakkan mangkuk berisi es batu tersebut di atas meja yang telah di tunjukkan Raffa. Ia memerhatikan wajah memar Julian. "Gila, lumayan juga luka lo." ucapnya. "Sakit gak, Jul?"

Julian meringis ketita Ali menekan luka yang ada di pipinya. "Sakit bego.."

Ali tertawa. Tolong, siapapun maafkan kebodohannya ini. Bahkan ketiga temannya pun tidak mengerti, mengapa anak satu itu bisa bertingkah se-jahil itu. "Kirain gua gak sakit, Jul. Hahaha."

"Mbahmu, gak sakit." umpat Julian yang dibalas dengan acungan dua jari dari darinya yang membentuk huruf V diantara ibu jari dan jari manisnya.

"Kayaknya lo ada salah deh sama dia. Soalnya dia kayak emosi banget tadi." ucap Abel.

Semuanya mengangguk membenarkan apa yang diucapkan oleh Abel. Mungkin memang Julian memiliki kesalahan padanya, namun entah apa kesalahannya, Julian tidak mengerti. Yang pasti, ia akan mencari tahu hal ini dan menyelesaikan semua secepatnya.

"Iya, bisa jadi sih." ucapnya. "Eh, tapi.. Kok kalian bisa ada di sana sih? Bukannya gua udah nyuruh kalian balik duluan tadi?"

"Tadinya kita emang mau balik, tapi si Rifqi ke kelas nyariin lo. Karena ekspresi dan gelagat dia mencurigakan banget, makanya kita mutusin buat ngikutin dia. Dan ternyata, bener aja. Dia sempet nyamperin lo gitu di gudang." jelas Raffa.

"Iya. Abis itu dia pergi gitu aja dan pas kita ngeliat lo keluar dari gudang, kita ngikutin lo dan tadaaa.. Dia mukulin lo deh." tambah Ali. "Untung kita ada di sana. Kalau gak? Abis lo sama dia."

"Lagian, kenapa lo gak bales dia aja? Apa perlu gua yang bertindak? Tangan gua gatel banget anjir, tadi." tanya Raffa.

Ali tertawa. "Haha, mantan preman ngamuk coy." Ledeknya. "Gua gak kebayang, tampang kayak lo ternyata bisa jadi preman dan dikenal dengan badboy dimana-dimana. Kocak anjir."

Rachel Dan JulianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang