Langit cerah mulai berganti kelabu. Awan hitam kian berdatangan seiring berjalannya waktu, membawa sang surya kedalam pelukan malam hingga menenggelamkannya sampai tak terlihat lagi cahayanya.
Julian memarkirkan mobilnya di salah satu kafe terdekat dengan sekolahnya. Mematikan mesin mobilnya dan melepas seatbelt yang dikenakannya.
Rachel menatap sekelilingnya bingung. "Kenapa kita berhenti disini? Lo tau rumah gua kan?" Tanya Rachel.
"Gua tau lo laper. Jadi lebih baik kita makan dulu." Ucap Julian. "Gua gak mau bertanggung jawab kalau lo sampe pingsan lagi."
"Gua gak laper kok. Lagipula gua bisa.." Ucapannya terputus ketika sebuah suara muncul memenuhi pendengaran keduanya. Rachel hanya menahan nafasnya, tidak percaya jika perutnya harus berbunyi di saat seperti ini. Sungguh memalukan.
Julian terdiam sejenak memerhatikan Rachel. "Udah cepet turun, kasian cacing di perut lo butuh asupan."
Rachel hanya mengulum bibirnya takut. Merasa tersindir dengan ucapan Julian barusan. Ia terdiam di posisinya, menatap lurus kearah sepatunya yang sedikit kusam akibat terpaan debu.
Julian yang melihat tingkahnya hanya menghela nafas. "Turun sekarang juga, sebelum gua berubah fikiran. Lo tau kan apa yang bakal gua lakuin kalau lo gak turun?" Pria itu mencabut kuncinya dan melangkah keluar.
Dengan terpaksa, Rachel menurutinya dan mengekor dibelakangnya. Mengikuti sang supir, melangkah kedalam kafe. Ancaman yang dibuatnya tidak pernah main-main. Ia selalu melakukan hal yang pastinya nanti akan membuatnya malu didepan umum.
Rachel mendudukkan dirinya disalah satu tempat kosong yang ada di dekat dengan Jendela. Menghadapkan dirinya dihadapan sang pria sembari menatap meja yang dirasanya lebih menarik dibandingkan pria yang ada dihadapannya.
Tak lama setelah itu, seorang wanita dengan seragam yang dikenakannya datang menghampiri keduanya. "Selamat sore. Mau pesan apa kak?"
Julian melihat-lihat menunya. Membaca satu persatu, memilih makanan yang tidak terlalu mengenyangkan untuknya. "Saya spaghetti lasagna sama orange juice aja, mba." Ucapnya.
Waiters itu mencatat pesanan Julian dibuku yang dipegangnya. "Ada lagi kak?"
"Oh, iya." Julian mengalihkan pandangannya. "Lo mau mesen apa, Hel?"
"Ehmm, gua sama aja deh kayak lo. Tapi minum nya jus strawberry aja ya mbak." Ucapnya.
"Baik. Tunggu sebentar ya kak."
Sang waiters pergi meninggalkan keduanya. Menghadirkan keheningan yang mencekam satu sama lain. Kedua nya terdiam, menyibukkan diri dengan berbagai fitur yang ada di ponselnya. Tidak ada yang berbicara, meskipun ingin sekali rasanya mereka bertegur sapa, meminta maaf atas kejadian yang pernah terjadi sebelumnya. Namun mau bagaimana lagi, kedua orang itu sama-sama bungkam. Sulit rasanya untuk mengucapkan sepatah dua patah kata. Hingga akhirnya, keduanya memberanikan diri memulai percakapan.
"Gua." Keduanya tertegun mendengarnya. Menatap satu sama lain sembari mengatur irama nafasnya. Bersiap untuk kembali melanjutkan ucapannya setelah merasa tidak ada yang ingin disampaikan oleh lawan bicaranya.
"Gua mau.." Lagi-lagi kekompakkan itu tercipta. Dengan cepat, Julian menghela nafasnya dan mempersilahkan Rachel untuk terlebih dulu berbicara. "Oke lo duluan."
"Emm, gak apa-apa. Lo aja dulu." Tolak Rachel.
"Enggak. Lo aja yang ngomong duluan. Gua masih inget istilah Ladies first, kok."
Yak. Mungkin itu kalimat yang tepat untuk membuat wanita berbicara terlebih dulu. Seakan-akan kalimat itu menjadi senjata para pria yang dapat menyelamatkan dirinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rachel Dan Julian
Novela Juvenil"Dingin. Gua tau lo kedinginan. Gua gak bisa hapus setiap kesedihan yang ada di ingatan lo, tapi setidaknya, gua bisa ngelindungin lo dan hapus air mata lo." -Julian. Hanya kalimat itu yang mampu diucapkannya. Tak banyak, namun mampu membuat Rachel...