Seorang murid berlari menuju kelasnya. Menghentikan gerakannya dengan nafas terengah-engah. Ia berhenti sejenak, memegang perutnya, mengatur nafas agar berdifusi secara teratur.
"Weh, ada bu Meri, luh." Ucap Ricko.
"Eh, sumpah demi apa?" heboh Rika.
"Aduh, mampus. Gimana ini."
"Gece weh, gece. Siapa yang udah?"
"Passing dong, passing.."
Seisi kelas heboh seketika saat mendengar bu Meri masuk hari ini. Padahal sebelumnya, bu Meri tidak masuk di kelas sebelah. Entah kutukan apa yang menimpa kelas ini sampai sampai ia bisa masuk ke kelasnya.
"Hel, gua liat dong. Lo udah kan?" tanya Wina panik.
"Udah. Ambil aja di tas."
Rachel merapikan tumpukan buku yang sudah di siapkan olehnya. Beruntung, tugas rumah yang diberikan oleh bu Meri sudah ia kerjakan, jika tidak? Bisa habis dia di jemur di lapangan.
"Win. Lo mau ikut gua keperpus gak? Gua mau ngembaliin buku nih." Tanya Rachel.
"Lo gak liat gue lagi kebingungan nyalin PR? Enggak deh, sorry ya. Ini keadaannya lagi darurat." Ucap Wina yang sedang sibuk menyalin PR Rachel kedalam bukunya.
Beginilah kenyataannya. Bahkan sebuah pekerjaan rumahpun dapat memengaruhi suatu hubungan. Merubah segalanya, dan menyisakan keegoisan semata.
Namun itu tak masalah bagi Rachel. Karena bagimanapun, hal ini sudah biasa terjadi. Jadi tak perlu repot-repot untuk membuang waktu hanya untuk merasa tersinggung.
"Oh ya udah. Nanti kalo udah taro di tas ya? Gua mau ke perpus dulu."
"Iya." Wina masih saja tidak mengalihkan pandangannya dari buku milik Rachel. Ia benar-benar panik, masalahnya ini adalah PR yang diberikan oleh bu Meri beberapa hari lalu.
"Hel, banyak banget sih jawabannya?" Ucap Wina. "Woy, ada yang singkat gak? Gue liat dong."
Hingar bingar dapat ia dengar melalui telinga nya. Tidak perduli dengan komentar Wina tentang jawabannya, Rachel tetap berjalan melewati lorong kelas sambil membawa buku-buku yang ingin ia kembalikan ke perpustakaan.
Salahnya memang, karena ia tidak kira kira meminjam buku di perpustakaan. Tapi mau bagaimana lagi, toh semua nya terbaca olehnya. Jadi tidak ada yang perlu di sesalkan.
Matanya sempat mengarah ke lapangan dan melihat Julian beserta teman-temannya sedang bermain basket. Mereka saling menatap, namun Rachel tetap melangkahkan kakinya dan berusaha untuk tidak memerdulikan Julian.
Dengan cepat, Julian langsung membuang bola basket tersebut kesembarang arah dan berlari menghampiri Rachel. "Ada yang bisa gua bantu?" Tanyanya.
Rachel menengadah, menatap Julian datar. "Gak bisa. Gua bisa sendiri kok." Ucap Rachel
"Udahh sini gua bantu." Julian langsung mengambil buku-buku yang dipegang oleh Rachel dan memegangnya dengan erat, kalau-kalau bukunya diambil lagi oleh Rachel.
"Udah gua bilang gak bisa."
"Tapi gua udah bantu. Dan gua udah bilang kalau gua mau bantu." Jelas Julian.
Rachel hanya mendengus kesal. "Batu. Terserah lo, lah." Gumamnya.
Rachel terpaksa membiarkan Julian membantunya kali ini. Tidak peduli dengan tatapan dan tanggapan satu sekolah tentang dirinya. Lagipula, pria itu yang memaksanya. Jadinya sudahlah, itung-itung ucapan terimakasih.
Tunggu.
Terimakasih apanya? Memang ada ucapan terimakasih yang memberatkan orang yang membantunya?

KAMU SEDANG MEMBACA
Rachel Dan Julian
Teen Fiction"Dingin. Gua tau lo kedinginan. Gua gak bisa hapus setiap kesedihan yang ada di ingatan lo, tapi setidaknya, gua bisa ngelindungin lo dan hapus air mata lo." -Julian. Hanya kalimat itu yang mampu diucapkannya. Tak banyak, namun mampu membuat Rachel...