Kecelakaan

9.6K 996 35
                                    

Jalanan sudah mulai sepi saat Rindy mengendarai vespanya sepulang dari kampus, kendaraan yang baru saja keluar dari bengkel itu terasa sedikit bertenaga, saat ia tarik gasnya dengan kecepatan penuh membelah jalanan dalam keheningan malam.

Rindy sama bersemangatnya dengan 'satrio'. Tanpa ia sadari kecepatan berkendaranya sudah dalam kecepatan penuh. Hingga sulit sekali ia kendalikan saat sebuah motor metik yang ditunggangi tiga orang cabe-cabean memotong jalannya tiba-tiba, 'satrio' pun oleng ke kiri dan menabrak trotoar.

Kecelakaan itu pun tidak bisa dihindari lagi, Rindy jatuh dari motornya dan terseret beberapa meter hingga sebelah kakinya lecet-lecet.

Darah segar pun terlihat merembes diantara celana jinsnya yang sobek.

Rindy bangkit perlahan, berjalan terpincang-pincang membangunkan 'satrio' dan kembali menungganginya. Sementara kendaraan yang memotongnya tadi kabur entah ke mana.

Rindy menyalakan motornya perlahan. Beruntung motornya masih hidup dan bisa berjalan mungkin karena baru selesai diservice, jadi walau bodynya penyok-penyok dan lecet-lecet tapi masih tetap bisa berjalan.

***

Seperti biasa, setelah menyelesaikan tugas-tugas kampus yang ia terima lewat emailnya. Hans berdiri di balkon kamarnya. Ia menunggu seseorang, ya walau ia sangat memungkiri kenyataan itu, tapi tetap saja ia tidak bisa membohongi dirinya sendiri, kalau saat ini ia sedang menunggu Rindy pulang dari kampusnya.

Waktu sudah menunjukan pukul sebelas malam, dan Hans merasakan kecemasan yang aneh dalam lubuk hatinya.

"Kenapa Rindy belum pulang juga," gumamnya, dan ia diam sesaat, kala menyadari kata-katanya.

Tapi kecemasannya tidak kunjung reda bahkan semakin lama semakin bertambah dan berubah menjadi khawatir yang berlebihan, ia sungguh takut terjadi sesuatu pada Rindy.

Hans langsung menengokkan wajahnya, saat suara vespa Rindy terdengar memasuki halaman kosan.

Pencahayaan di kos-kosan itu sangat terang, hingga Hans bisa melihat dengan jelas celana dengan warna telor asin yang Rindy kenakan terlihat bernoda darah. Kecemasan semakin menjadi dalam jiwanya, terlebih saat melihat Rindy turun dari vespanya dan berjalan terpincang-pincang menuju pintu kamar kosnya.

Tanpa berpikir panjang lagi, Hans berlari menuruni dua anak tangga sekaligus, untuk menemui Rindy.

Rindy sedang berusaha membuka pintu kosannya saat Hans tiba didekatnya. Mata Hans nanar saat melihat noda dari tetesan darah yang keluar dari ibu jari kaki Rindy, terlihat kontras di lantai yang putih dan tersinari lampu teras kosan Rindy.

"Apa yang terjadi Rindy, kakimu berdarah?" tanya Hans terlihat khawatir, dan kemarahan yang ia rasakan tadi pagi hilang entah kemana saat melihat Rindy terluka.

"Aku jatuh dari motor, tapi gak apa-apa, kok. Cuman lecet dikit di lutut sama kuku ibu jari kaki kiri kayaknya mau copot, nanti juga sembuh sendiri," jawab Rindy lalu tersenyum sok baik-baik saja.

"Kuku jarimu mau copot kamu bilang gak apa-apa? Ibu jarimu harus segera dioperasi, kalau tidak bisa infeksi. Kita ke rumah sakit sekarang juga," ujar Hans.

"Aku gak apa-apa, Hans. Cuman kuku mau copot doang kok, harus operasi?" balas Rindy.

Tanpa mempedulikan kata-kata Rindy, dengan cepat Hans berlari kembali ke rumah untuk mengeluarkan mobilnya.

"Hans jangan berlebihan deh, aku gak apa-apa," ujar Rindy, saat Hans sudah berada dihadapannya kembali.

"Jangan membantah!" balas Hans, dengan gerakan cepat ia membopong tubuh kurus Rindy tanpa beban.

Si Tomboy Rindy Dan Si Bule Han'sTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang