Siuman

6.8K 809 55
                                    

Kegelapan yang memenuhi pandangan Hans, terasa sangat menyesakkan. Sebuah cahaya nan jauh di sana terlihat menjanjikan kenyamanan, tapi setiap kali ia hendak menuju cahaya itu, kepalanya terasa sakit dan sulit sekali untuk melawan rasa sakit itu.

Sebuah pusaran di bawah sana, terlihat menyarankan kepasrahan dan menjanjikan ketenangan. Hampir saja ia putus asa dengan kegelapan yang ia rasa saat ini dan memilih tenggelam ke dalam pusaran itu.

Namun, sebuah suara dari cahaya yang menyilaukan itu menarik perhatiannya. Membuat ia ingin menggapainya. Ia menyukai suara itu, sebuah rasa yang menyerupai kerinduan memaksanya untuk menuju suara itu, tapi rasa sakit itu sulit ia lawan akhirnya ia hanya bisa kembali pada kegelapan yang menyesakkan.

Ketika suara itu menghilang, ia sungguh merasa kehilangan yang luar biasa. Hatinya gelisah ingin mendengar suara itu lagi, dan ia bertekad akan menuju cahaya yang menyilaukan itu, saat suara itu kembali. Tak peduli, walau rasa sakit itu sangat dahsyat menyerang kepalanya.

***

Rindy menjadi anak yang baik siang itu, ia hanya bisa pasrah saat suster membersihkan luka dan mengganti perbannya. Iapun menghabiskan makannya dan menelan pil pahit untuk pencegahan infeksi.

Rindy menuruti semua kemauan si suster dengan harapan ia bisa cepat kembali ke ruangan Hans.

Bambang Ayah Rindy datang menjenguk keadaan anaknya siang itu, Rindy menghibur sang Ayah dengan mengatakan kalau ia baik-baik saja. Dan ia mendukung sang Ayah saat Ayahnya mengatakan kalau dia tidak bisa berlama-lama, karena istrinya pun sangat membutuhkannya.

"Emakmu, selalu mencariku. Ia menjadi sangat manja ketika sakit. Dan memang gak ada yang bisa menggantikan Bapak dalam menjaganya. Natalie kerjaannya muntah-muntah mulu, masuk anginnya gak sembuh-sembuh. Sedangkan Ricko hingga kini belum ada kabarnya. Ponselnya pun tidak aktif," tutur Bambang.

"Ya sudah, pak. Rindy gak apa-apa, kok. Emak lebih butuhin bapak saat ini dari pada aku," jawab Rindy.

"Iya. Oya Rind, gimana keadaan suamimu?"

"Dia masih pingsan pak."

"Bapak mau jenguk sebentar sebelum kembali keruangan ibumu," ujar Bambang.

"Kita sama-sama ke sana, pak. Rindy juga mau nemenin dia lagi," sahut Rindy.

Akhirnya mereka sama-sama mengunjungi Hans di ruangan ICU. Namun Bambang tak bisa berlama-lama. Setelah cukup melihat keadaan menantunya, Bambang pun kembali keruangan istrinya yang tidak terlalu jauh dari tempat Hans di rawat.

Rindy mulai melakukan perannya, setelah Ayahnya pergi. Ia kembali berbicara pada suaminya itu dengan tangan menggenggam sebelah tangan Hans yang tak diinfus. Segala macam hal Rindy bicarakan, tentang sunrise, sunset, Mauza, Oki dan Iko. Tentang pekerjaan dan semua hal tanpa henti. Bahkan ia memceritakan sebuah dongeng tentang pangeran kodok kesukaannya saat ia kehabisan topik pembicaraannya.

Hans menunjukan reaksinya atas suara dan sentuhan Rindy.

Ritme detak jantungnya bertambah dengan cepat dan terlihat sangat tiba-tiba. Dengan sigap dokter yang saat itu memantau keadaan Hans, meminta Rindy menghentikan sentuhan dan pembicaraannya.

"Kenapa, Dok? Ceritanya belum selesai. Nanti Hans pasti penasaran dengan ending ceritanya. Sang putri belum cium si kodok, dan si kodok belum jadi pangeran," protes Rindy.

Dokter dan beberapa perawat hanya bisa memasang wajah tertiplek dan megeleng-gelengkan kepala, mendengar protes Rindy.

"Tunggu sebentar, Nona. Tekanan darah dan detak jantung pasien bertambah terlalu cepat dan tiba-tiba. Sepertinya dia terlalu bersemangat. Tapi kami khawatir ada pembuluh darah yang pecah, jika terlalu dipaksakan," sahut si dokter.

Si Tomboy Rindy Dan Si Bule Han'sTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang