Akhir Cerita

14.6K 993 73
                                    


Part ini belum saya revisi sama sekali, jadi pov-nya masih pov Neng Rindy. Dari pada nunggu lama padahal cuman satu part lagi, mending baca apa adanya aja, ya gak?

Maaf kalau banyak typo dan segala bentuk ketidaknyamanan lainnya.

***

Rindy

Hari sudah gelap saat kami sampai di Berlin, hingga mataku tidak bisa melihat keindahan kota itu sepenuhnya.

Mungkin benar, aku memang kampungan, karena saat ini aku tengah mabuk perjalanan. Kalau Hans bilang, aku sedang Jet lag. Tapi apa pun namanya itu, yang jelas saat ini aku mual, pusing dan lemah hingga tak sanggup berjalan, dan hanya bisa menatap lemah pada wajah Hans yang tengah menggendongku.

Langkah Hans cepat saat memasuki sebuah rumah besar dan terlalu besar kalau aku harus menyebut bangunan itu dengan sebutan rumah. Wajah Hans terlihat menderita saat melihatku yang lemah dalam gendongannya, mungkin dia mengkhawatirkanku. Dan rasanya aku ingin menciumi tiap inchi wajah itu.

Setelah meletakan tubuhku di tempat tidurnya yang sangat besar, Hans langsung menyalakan penghangat ruangan. Suhu udara di luar katanya mencapai 10°c. Tapi itu cukup dingin untuk orang Indonesian sepertiku dan aku benar-benar butuh kehangatan sekarang.

"Apa terlalu panas?" tanya Hans saat mengatur temperatur ruangan.

Aku menggeleng.

"Mau makan sesuatu?" Ia membuka jaketnya lalu switernya. Meninggalkan kaus putih ketat yang melekat di dada kekarnya.

Aku kembali menggeleng, Hans pun berjalan mendekat. Wajahnya terlalu dekat. Hingga aku bisa merasakan napasnya yang beraroma mint.

"Kamu harus makan."

"Tapi, belum lapar, aku mual." Wajah Hans tampak tak setuju, bibirnya membentuk garis tipis yang keras.

"Aku mau mandi, sudah lebih dari dua puluh jam aku tidak mandi," lanjutku.

Hans menatapku sesaat.

"Sebaiknya tidak," jawabnya. "Kita lap saja tubuhmu untuk menghilangkan rasa tak nyaman."

Kita, ya ampun apa dia mau memandikanku?

"Tunggu sebentar, aku ambil handuk dan air hangat," ujarnya, lalu bangkit berdiri, berjalan dan menghilang di balik pintu.

Pandanganku menyapu interior ruangan ini, kamar ini seluas lantai bawah rumah kontrakanku. Perabotannya serba mewah. Ranjangnya pun berukuran besar dengan kepala ranjang berukirkan burung rajawali yang sedang melebarkan sayapnya.

Hans bilang ia impoten saat kami berjauhan, jadi selama ini dia menggunakan kamar ini sendirian, tapi ruangan ini terlalu besar untuk digunakan seorang diri.

Tak lebih dari lima belas menit dia kembali dengan wadah dari perak dan waslap di tangannya.

"Hans, apa kamu tinggal sendirian disini?" Aku tak bisa menahan pertanyaan itu terlalu lama.

Ia tersenyum mungkin geli dengan pertanyaanku.

"Tentu saja tidak, babe. Ada beberapa staf rumah tangga yang melayaniku dan akan melayanimu juga," jawabnya dengan meletakkan benda di tangannya ke meja kecil samping tempat tidur.

"Maksudku selain itu, keluarga misalanya."

"Tidak ada, hanya aku dan kamu saat ini," jawabnya. Sementara tangannya mulai melepas syal yang kukenakan.

"Rumah ini terlalu besar untuk kita berdua," gumamku.

"Untuk itu kita buat anak-anak yang lucu untuk menemani kita," katanya lembut, dan menarik kerah jaketku dengan lembut dan melepaskannya dari bahuku.

Si Tomboy Rindy Dan Si Bule Han'sTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang