Ujian

8K 960 146
                                    


Rindy berharap ini sebuah ujian Tuhan untuknya, dan ia berharap ini bukanlah sebuah teguran yang Tuhan berikan atas dosa yang tidak ia sadari.

Kepergian Hans seperti sambaran petir di siang bolong, baginya.

Sedikitpun ia tak menyangka, kalau cintanya seperti air hujan yang menimpa daun talas, hanya lewat tak berbekas. Seperti keindahan cahaya sunset yang terlihat menyejukan hati, namun tak selamanya.

Hari itu Rindy benar-benar seperti mayat hidup, wajahnya pucat, lingkaran hitam mengelilingi mata basahnya, pandangannya pun terlihat kosong. Ia menyadari saat suster membuka pakaian basahnya, tapi ia tak tahu kapan suster itu memasang kembali pakai kering itu di tubuhnya. Ia pun tak tahu dan tak merasakan saat mereka menancapkan selang infus di punggung tangannya.

Pikirannya sungguh kacau, dan otaknya tak bisa mencerna apa yang ia lihat. Ia pun tak menyadari jika bumi sudah mulai di tinggalkan matahari. Dan senja pun siap menyambut malam.

"Makan, ya! Sesuap aja!" Suara Satria terdengar lirih membujuk Rindy yang berbaring menyamping di atas ranjang pasiennya.

Rindy mendengarnya, tapi ia sedang ingin diam, ia sedang berduka saat ini.

"Rind..." undangnya. Rindy masih diam.

"Jawab dong, jangan kaya gini," lanjutnya.

"Aku gak lapar," jawab Rindy, akhirnya.

"Tapi kamu harus makan,"

"Nanti aja."

"Sekarang ya, sesuap aja, kamu-kan harus minum obat," bujuk Satria.

"AKU BILANG NANTI!!! SEKARANG AKU NGGAK LAPAR!!!" Teriak Rindy, wajah dukanya berganti dengan kemarahan, mata bengkaknya memandang Satria kesal.

Tatapan menderita di tunjukan Satria, hatinya sungguh sakit melihat Rindy seperti ini.

Rindy terlihat turun dari ranjang, bangkit berdiri, lalu mencabut selang infus dari punggung tangannya.

"Mau kemana?" Tanya Satria.

Ia diam tak menjawab.

"Aku tahu kamu sedang berduka saat ini Rindy," suara Satria terdengar lantang saat ia menyadari Rindy mengabaikannya dengan berjalan kearah pintu.

"Tapi, aku yakin kalau Rindyku bukan gadis yang lemah." Rindy menghentikan langkahnya sesaat. Satria pun melanjutkan kata-katanya dengan suara yang lebih keras, "cobaan seperti ini bukan apa-apa untuknya. Ia bisa menghadapi yang lebih dari ini dengan senyum manisnya. Rindyku sangat kuat. Ia tak mungkin selemah ini dengan menyiksa diri sendiri." Rindy tampak memejamkan mata, berusaha mencerna kata-kata Satria.

Tapi, ia lebih memilih mengabaikannya, dengan melanjutkan langkah kakinya.

Satria mengekor di belakangnya, sudah pasti ia akan mengikuti kemanapun Rindy pergi. Insting melindungi yang selalu ia rasakan terhadap gadis itu begitu kuat.

Malam sudah mulai gelap saat Rindy tiba di luar rumah sakit, di saat bersamaan sebuah taksi melintas, yang langsung ia hentikan.

"Mau kemana, mbak." tanya si sopir, saat Rindy sudah duduk di kursi penumpang.

"Kelilingi-keliling saja, pak." jawab Rindy.

Si sopir tampak bingung, tapi ia menuruti keinginan Rindy. Satria mengikuti taksi itu dengan motornya.

Dua jam sudah Rindy berkeliling, dengan harapan bisa melupakan kedukaannya, namun itu bukan hal yang mudah.

Bayangan Hans terus menerus melintas di benaknya, baru dua puluh empat jam ia tak melihat Hans, tapi rasanya sudah sangat lama dan ia sangat merindukan suaminya itu saat ini.

Si Tomboy Rindy Dan Si Bule Han'sTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang