Sesampainya di rumah, pertama kali yang Ana dapatkan adalah Wildan yang berjalan sempoyongan dan memeluknya dengan bau alkohol yang menyengat. Ketika Ana melirik ke ruang tamu, ternyata Wildan masih melakukan kebiasaan buruknya, minum minuman keras.
"Ana." Suara serak Wildan memanggil namanya. Ana kemudian memperhatikan tubuh Wildan yang masih mengenakan pakaian yang sama, rambut berantakan, bahkan kedua kaos kakinya saja belum dilepaskan.
"kita bicara besok saja, Wildan."
"Jangan lagi." Lalu Wildan jatuh tertidur di bahu Ana. Masih saja egois. Akan jadi apa dia jika aku tidak pulang tadi?
Ana kemudian memapah tubuh besar Wildan ke paviliun belakang, ke kamarnya. Terlalu berat membawa badan besar Wildan ke kamarnya yang ada di lantai dua. Saat Ana sudah membuatnya benar-benar tidur dengan nyaman, dengan perasaan kesal ia melepaskan kedua kaos kaki Wildan, melonggarkan kemejanya, melepaskan dasi serta ikat pinggangnya, Sial, berantakan seperti ini masih saja tampan.
"Gayamu saja Direktur perusahaan, mengurus diri sendiri saja Kamu tidak bisa."
Setelah mematikan lampu kamar, Ana kembali berjalan ke ruang tamu dan membersihkan sisa minuman Wildan. Ana memperhatikan semua foto yang terpajang manis di dinding ruang tamu. Ada satu foto ukuran besar dengan bingkai putih megah yang berada di tengah, itu foto pernikahan Ana dengan Wildan. pintar sekali aktingmu, Ana. padahal kamu tidak bahagia.
Kalian ingat kontrak tempo lalu? Ya inilah jawabannya. Mengapa Ana tidak pernah bahagia saat bersama Wildan yang begitu dikagumi oleh banyak orang, mengapa Ana hanya tersenyum palsu di foto itu, mengapa Ana tidak berada dalam satu kamar dengan Wildan, Mengapa Ana terpaksa pindah ke rumah ini.
Ana Baskara adalah istri dari seorang Direktur perusahaan besar, Ad&Co. Istri yang digunakan hanya untuk membuat Wildan bisa lepas dari kekangan kedua orangtuanya. Istri kontraknya hanya untuk dua tahun kedepan, setelah itu kehidupan ini tidak akan pernah dianggap ada. tidak akan pernah mereka anggap terjadi.
~flashback~
"Ana, terimalah lamaran Wildan. Ini permintaan papa yang terakhir untuk kamu." Baskara menatap anak perempuan satu-satunya yang ia miliki sambil tersenyum lemas di atas ranjangnya.
"Ana tidak tahu siapa dia, Pa. Menikah itu harus dengan orang yang kita cintai, bukan sembarangan seperti ini!"
"Kamu akan mencintai Wildan. Dia membutuhkan wanita seperti Kamu. Bantu Papa ya?" Setelah itu Baskara benar-benar menghembuskan nafas terakhirnya. Wildan juga berada berada di ruangan ini, berdiri di sisi pintu melihat Ana menangis terisak. Mungkin Wildan tidak tahu harus bagaimana dan hanya memilih diam.
Setelah pemakaman, beberapa minggu setelahnya Wildan menemui Ana dan menawarkan sebuah kontrak.
"Kamu tidak suka dipaksa kan? Jadi anggap saja pernikahan ini hanya syarat kamu membantu saya saja. Kita menikah tapi tidak menjalani hidup sebagai suami istri."
Dia menatap tajam ke arah Ana, memberikan sebuah tatapan yang menunjukkan ia juga tidak suka dengan pernikahan yang terpaksa ini.
"Pernikahan ini akan berjalan dua tahun, tidak sulit kan? Saya rasa kamu mampu. Saya menikahimu karena Papamu memberikan kepercayaannya kepada Saya dan Saya tidak ingin berada dalam kekangan kedua orangtua lagi. Menjadi laki-laki yang tidak bisa bertanggung jawab bukanlah menjadi pilihan dalam hidup saya."
"pernikahan kontrak?"
"Kamu mau betul-betul menikah?"
"Bukan seperti itu," Ana membalasnya lemas.
"Kita hanya akan berada dalam satu rumah dan berbeda kamar. Tugasmu hanya berperan baik sebagai seorang istri di depan orang lain, itu saja."
"Orangtuamu bagaimana?"
"Tidak usah cemaskan hal itu. sudah Saya atur." entahlah pikiran Ana kosong dan tidak tahu harus bagaimana.
"Diammu Saya anggap setuju. "
~~~~
Percakapan waktu itu menjadi percakapan terakhir Wildan berbicara sangat panjang kepadanya. Entah bagaimana saat itu Ana tidak mengelak, tidak juga marah dengan keputusan Wildan yang sepihak. Ana juga tidak marah dengan pernikahan yang dilaksanakan dengan terburu-buru dan sangat cepat. Perasaan bersalah Ana berhasil menang dari rasa egoisnya untuk meninggalkan Wildan sendirian. Perasaan bersalah dengan papanya dan kedua orangtua Wildanlah yang membuat Ana bisa bertahan sampai saat ini.
Sekarang, kepalanya terasa pusing dan berat. Mungkin malam ini, hanya malam ini saja ia akan tidur di sofa ini. Tubuhnya terlalu menolak untuk dibawa tidur ke tempat lain.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
(un) Happy Wedding
Romancefollow dulu apabila ingin membaca! Happy Reading! "Aku membencinya, dimulai dari perkenalan yang luar biasa tidak terduga. Aku benci sifatnya yang egois. Aku begitu membenci laki-laki itu hingga membuat Aku tidak bisa menjauh dari dirinya.." - Ana...