TUJUH

32.8K 1.6K 5
                                    

Setelah beberapa menit yang lalu David mengambil paksa kunci mobilnya, Ana akhirnya terperangkap bersama Wildan sekarang. Manusia dingin tidak tahu diri ini justru menariknya untuk mengikutinya seolah-olah kemarin tidak ada yang terjadi di antara mereka. Sadarlah Ana, kamu itu hanya perempuan yang kesekian yang sudah terbuai dengan sikapnya kemarin. 

Ana sekali lagi melirik Wildan dengan tatapan aneh. Ada apa dengan Wildan hari ini? Ada angin apa? Keanehan ini semakin membuat Ana merasa lebih aneh lagi saat wildan memilih makan di gerobak bakso pinggir jalan. Lidah sombong orang kaya seperti wildan bisa makan seperti ini?

"Kenapa?"

"Engga." ucap Ana mengalihkan tatapannya. malu karena tertangkap basah menatap Wildan sejak tadi.

"Saya sudah bilang, menebak hati orang lain itu sulit. Sebaiknya dibicarakan langsung." Wildan lanjut memakan baksonya dengan lahap. 

Benar-benar laki-laki ini. Dia ini bipolar atau bagaimana? Cepat sekali merubah mood setiap hari. Sebentar marah lalu baik, begitu terus. Ah sudahlah, untuk apa memikirkan manusia yang bahkan tidak pernah memikirkan keadaanku?

Benar-benar kenyang. Untuk kesan pertama pada bakso ini lumayan, enak dan porsi yang banyak. Yang paling penting tidak menghabiskan banyak uang.

"Makan itu jangan berantakan, kamu itu perempuan." Wildan mulai ngomel lagi. ngomel saja terus, biar tambah tua! 

Ana segera membersihkan mulutnya dengan ujung lengan baju yang memang agak kepanjangan dari ukuran tangannya, tidak sadar bahwa di dekatnya ada kotak tisu yang sudah disediakan.

"Bodoh sekali Kamu," 

Wildan segera membersihkan mulut Ana pelan dengan tisu dan segera menggulungkan lengan baju Ana . Semua itu dilakukan Wildan tanpa rasa canggung sama sekali. Well hello? Bapak direktur yang terhormat apa yang sedang kamu lakukan terhadap saya ya? 

"Kamu nggak mau menjelaskan apapun?"

"Menjelaskan apa?" huh, bodoh sekali aku bertanya. dia ingat saja tidak. ketika Ana menunduk karena bergelut dengan pikirannya sendiri. Wildan menatapnya sambil tersenyum, kemudian mendekatkan jarak mereka berdua.

"ini maksudmu?" ucap Wildan sambil menunjuk bibir Ana. 

"Bukan!" Ana membuang muka dengan wajahnya yang merona. kenapa juga kamu harus gugup Ana? bukankah ini terlalu kentara? wildan juga bukan orang yang bodoh.

"jadi kamu mau kita bicarakan soal kemarin disini? di antara banyak orang?" Ana melihat sekitar mereka. ternyata orang-orang ramai juga yang makan di tempat ini. this is not a good idea.

"Pulang saja." 

"ha? apa? lanjutkan disini? oke." respon Wildan benar-benar gila. ia menarik kursi Ana mendekat ke arahnya hingga meninggalkan jarak beberapa centimeter saja dari wajah Wildan. 

"Wildan kita pulang!" Ana berdiri dan berlari menuju mobil, malu dilihat oleh banyak orang. sedangkan Wildan hanya tertawa kecil sambil meminta maaf kepada orang-orang sekitar karena teriakan Ana barusan membuat orang-orang disekitar mereka menatap heran dan ingin tahu.

"Maaf semuanya, pengantin baru. Istri saya masih manja." ucapnya, sambil menyusul Ana yang masih menutupi wajahnya karena malu. 

***

Di dalam mobil lagi-lagi hening, tidak ada yang mulai bicara. Radio juga tidak dihidupkan.

"Kenapa?" satu kata itulah yang keluar dari bibir Wildan setelah beberapa menit terdiam.

"Kamu kenapa hari ini. Kamu yang aneh." Ana menjawabnya dengan pelan, ia tidak berani menghadap ke sebelah dan menatap mata Wildan langung.

"Apa yang salah?" sok polos. Menurutmu saja kenapa kamu aneh hari ini wildan, kamu melakukan hal-hal aneh hari ini. Peduli dengan suatu hal yang kecil. Bicara terlalu banyak, tidak marah-marah seperti biasanya.

"Bukannya suami seperti ini yang kamu mau?" hah! Suami? Suami katanya? Kita ini tidak benar-benar menikah, apa maksudnya dengan suami?

"Pernikahan ini tidak pernah ada, Wildan."

"Kita menikah, jadi pernikahan ini ada." tiba-tiba mobil berhenti.

"Kamu mau Saya bagaimana lagi?"

Nadanya kali ini meninggi. Dari semuanya yang ada dalam diri Wildan, hanya satu yang bisa ia percaya dari Wildan, itu sorotan matanya yang tak pernah berbohong. Sorotan matanya kali ini menyorotkan ia benar-benar marah,

"Wildan.."

"Apa?"

"Mulailah dari mengucapkan kata 'Aku' sekarang." Kali ini Ana menatap ke kedua mata Wildan lekat, begitu juga dengan Wildan. Tidak ada yang mengalihkan pandangan. Mereka sama-sama saling menatap satu sama lain.

"..."

"Biasakan bicara "Aku" mulai sekarang. Kamu tidak tahu harus bagaimana lagi kan?" Wildan tidak menjawab, tapi pandangannya masih terarah ke kedua mata Ana. Matanya terlihat ragu. Wajar saja, Wildan dari dulu tidak pernah berbicara 'Aku' kepada siapapun kecuali dengan sahabatnya, Araf, suami Wina. Itu akan sulit diubah, Wildan bukanlah laki-laki santai seperti yang lain.

"Sulit?"

"Aku... akan coba."

Deg.

Ana merasakan lagi-lagi hatinya bermasalah, itu adalah ucapan 'Aku' pertamanya kepada orang lain. Bodoh sekali kamu Ana, anak kecil juga bisa mengucapkan kata 'Aku' kapan pun. Tapi, masalahnya ini bukan anak kecil tapi seorang Wildan.

Suara mesin mobil kembali terdengar, hening lagi. Tapi ini bukan hening dingin seperti biasanya, ini hening dimana Ana bisa mendengar suara detak jantungnya sendiri, begitu kencang, hingga membuat dirinya tidak sadar bibirnya menyunggingkan senyum malu untuk pertama kalinya karena Wildan.

***

(un) Happy WeddingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang