EMPAT PULUH

25.6K 1.2K 29
                                    


Wildan berdiri masih menatap nisan kedua orangtuanya yang baru saja di makamkan. Tidak ada airmata yang jatuh, yang ada hanya kepalan tangan Wildan yang meninggalkan bekas merah di jemarinya.

"Dan, Ayo pulang." Araf memegang bahu Wildan pelan. Tapi Wildan sama sekali tidak menanggapinya.

"Aku dan Wina kembali ke rumah sakit ya."kemudian Araf dan Wina meninggalkan Wildan yang masih berada di pemakaman sendirian.

Wildan yang awalnya berdiri sekarang mendekati nisan Ayahnya, menatapnya lama.

"Apa ini caramu membalas semua yang sudah Saya lakukan?" Wildan mengepalkan tangannya lagi,

"Setelah Saya menghabiskan hidup selama 12 tahun hanya untuk melindungi semuanya?!" dan wildan memukul perlahan batu nisan Ayahnya.

"Jika kau ingin mati untuk apa kau membawa ibu juga?!" Wildan kemudian menatap nisan yang ada disebelah Ayahnya. Baru saat itulah matanya mulai berair.

"Kenapa?"

"Kenapa hanya Aku yang selalu ditinggalkan?" kemudian airmata Wildan mengalir di kedua pipinya. Ia menangis dengan sangat kencang memeluk nisan Ayahnya.

"Maafkan Aku Ayah, Maafkan Aku."

Selama beberapa jam, Wildan selalu mengucapkan kata itu 'maaf', diulangi terus menerus dengan isakan tangisnya yang begitu menyakitkan. Baru kali ini Wildan benar-benar menangis terisak, dirinya selama ini tidak pernah mengucapkan kata itu di depan kedua orangtuanya.

Dan sekarang setelah semuanya meninggalkannya, yang ada hanyalah dua kata itu saja, 'maafkan Aku'.

*

"Wildan?!" 

Araf berlari mendekatinya di ujung lorong dan berhenti tepat di depan Wildan.

"You should rest now. Biar Aku dan Wina saja yang menjaga, Ana." Araf tau tawaran yang baru saja ia ucapkan itu sia-sia saja. Wildan itu keras kepala dan pasti tidak akan mendengarkannya.

Wildan yang mendengar tawaran Araf barusan hanya tersenyum sedetik saja dan kemudian berlalu. Wildan berjalan dengan bahu yang turun dan wajah yang pucat. Araf ingin sekali memukulnya dan menyuruhnya untuk sadar bahwa ia juga harus mengurus dirinya sendiri, tapi sayangnya Araf tidak mampu untuk itu. Araf tahu, jika dirinya berada dalam posisi Wildan yang bisa ia pikirkan hanya berencana untuk mati saja dan meninggalkan semuanya.

Wildan membuka pintu kamar Ana dan melihat Ana yang masih terpejam. Ia duduk menarik kursi mendekati wajah Ana yang masih tidak sadarkan diri. Tapi, kali ini ia tidak bisa tersenyum seperti biasanya yang ia lakukan saat melihat Ana. Kemudian Wildan berdiri dan membaringkan tubuhnya di samping Ana. Ranjang Ana begitu besar jadi tubuh Wildan bisa sedekit menyelip dan membaringkan tubuhnya di sebelah Ana.

Tangan Wildan kemudian memeluk tubuh Ana dengan sangat erat, wajahnya ia tenggelamkan di bahu kanan Ana. Ia kemudian memejamkan matanya. Menangis di bahu Ana yang masih tidak sadarkan diri.

"Ana, tolong, sebentar saja biarkan Saya seperti ini." Wildan menangis sesenggukan. Selama ini ia hanya bisa menangis di belakang Ana, ia tidak pernah mau menangis kencang di depan perempuan yang ia sayangi. Wildan tidak ingin terlihat lemah, tapi kali ini pertahanan dirinya sudah hancur.

Araf dan Wina melihat kejadian itu dari luar pintu kamar Ana melalui kaca pintunya. Wina menangis melihat betapa menyakitkannya tangisan Wildan yang berbaring sambil memeluk Ana seperti itu.

"Raf..."

"Hm?" Araf yang memeluk Wina dari belakang hanya bisa menjawabnya dengan gumaman.

"Apakah hidup Wildan semenyakitkan itu?" kemudian Araf hanya bisa mengeratkan pelukannya, nyatanya memang semenyakitkan itu.

*

Wildan masih menangis, entah kenapa dirinya tidak bisa menghentikan tangisannya. Kemudian saat ia mengeratkan pelukannya di pinggang Ana, tiba-tiba di bagian puncak kepalanya ada yang mengelus perlahan. Mata Wildan yang awalnya terpejam dan menangis seketika terbuka dan menghentikan tangisannya.

"A.. Ana?" Wildan langsung bangun dari tidurnya dan seakan tak percaya dnegan apa yang ia lihat dengan matanya sendiri.

Ana membuka kedua matanya, mengedipkan matanya beberapa kali.

"A... Ana..?" saat Wildan memanggil nama itu sekali lagi, kedua mata Ana perlahan melirik ke arah Wildan yang wajahnya sudah dipenuhi air mata. Perlahan kemudian tangan Ana bergerak dan menyentuh jemari Wildan. Di kedua ujung mata Ana berair. Tapi Ana belum bisa mengatakan apapun. 

Wildan kemudian tersenyum sambil menangis dan menggenggam erat jemari Ana.

"Aku merindukanmu, Ana."

***

(un) Happy WeddingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang