DUA BELAS

27.6K 1.4K 11
                                    

Wildan berjalan masuk ke dalam rumah dan Ana mengikutinya dari belakang. Ini situasi yang aneh, sangat aneh. Seluruh tubuh Ana terasa hangat walaupun ia hanya memakai celana pendek dan baju tipis. Tidak ada yang mulai pembicaraan, mungkin karena situasi ini tidak pernah terjadi sebelumnya.

Saat sudah sampai di tangga, Wildan berbalik dan sekali lagi menatap Ana lekat. Anatidak bisa membalas tatapannya, bisa terjadi hal-hal yang tidak Anainginkan nanti.

"Selamat malam." Anamengucapkan salam terakhir dan bermaksud pergi ke kamarnya yang ada di belakang rumah. Sedetik kemudian tubuh Ana tertarik dan kembali ke posisi awal, tangan Wildan yang menariknya.

"Apa maksudmu dengan 'selamat malam'?"

"Aku mau ke kamar dan tidur." 

Wildan tidak menjawab, ia masih saja menatap Ana dengan kedua matanya yang tajam itu. Ana tidak sadar jarak diantara mereka sama sekali tidak ada. Tubuh Ana menempel erat dengan tubuh Wildan. Ana tidak bisa keluar dari posisi ini karena ia tahu tangan Wildan masih berada di pinggangnya, memeluknya dengan sangat erat disana.

"Kamarmu ada di atas." Sedetik kemudian tangan Wildan sudah menarik Ana ke lantai atas. Wildan menuntun langkah Ana perlahan, sampai akhirnya Ana melepaskan tarikan tangan Wildan.

"Apakah mulai sekarang kita akan satu kamar?" Wildan diam, tidak membalas pertanyaan Ana dan lanjut menaiki tangga.

"Wildan, kenapa?"

"Di belakang, banyak nyamuk." Kemudian, Wildan akhirnya meninggalkan Ana di tengah tangga sendirian. Wildan sudah lebih duluan sampai di lantai atas. Senyum Ana merekah mendengar alasan itu. benar-benar bodoh.

Saat Ana membuka pintu kamar Wildan, lagi-lagi pemandangan yang ia lihat adalah Wildan yang sudah tertidur pulas di atas tempat tidur. Tubuhnya masih menggunakan pakaian kantor dan dasinya belum terlepas dari sana. 

Apa direktur sialan ini sengaja melakukan ini setiap kali aku ke kamarnya?

Ana berjalan mendekati tubuh Wildan dan duduk di sisi ranjang di sebelah tubuhnya. Segera Ana melepaskan mulai dari kaos kakinya lalu melepas dasi yang masih terpasang di sana. Saat Anasudah melepaskan dasinya, matanya terpaku pada wajah Wildan yang tenang. Jika sedang tidur seperti ini, Ana tidak ingat sama sekali dengan sifatnya yang luar biasa menyebalkan itu.

Mata Ana tiba-tiba berhenti saat melihat luka yang ada di jemari Wildan. Entah apa yang sudah ia lakukan dengan luka parah seperti ini. Ana melangkah ke kamar mandi yang ada di kamar Wildan dan mengambil kotak P3K disana. Segera dirinya mengobati luka yang ada di jemari Wildan, perlahan hingga darahnya bersih.

Setelah semuanya selesai, Ana menatap kemeja yang masih dikenakan Wildan, ragu untuk melepaskannya atau tidak. Tubuhnya mendekat ke tubuh wildan, tangannya sudah melepaskan kancing pertama kemeja Wildan sampai akhirnya ia berhenti saat Wildan membuka kedua matanya.

"Aku hanya membantumu, tidak ada maksud lain." Ucap Ana gugup,

"Apa sekarang kamu sudah berani melakukan ini di saat kita dalam satu kamar?" sialan. Jangan menatapku dengan tatapan itu, bisakah?

"Aku tidak bermaksud-"

Tiba-tiba tangan Wildan menarik tubuh Ana mendekat dengan tubuhnya. Walaupun Wildan sekarang sedang posisi tidur, tangannya yang kekar itu mampu untuk menarik tubuh Ana hanya dengan satu tangan saja. Jarak diantara mereka hanya terhalang beberapa centimeter saja dan Ana bisa merasakan nafas dan detak jantung Wildan. Seketika otaknya berhenti berpikir dan menjadi kosong.

Sedetik kemudian Ana merasakan bibir Wildan yang sudah menciumnya pelan. Terjadi begitu saja tanpa menunggu Ana menyelesaikan kata-katanya. Ciuman itu tidak memaksa, Anayang awalnya hanya diam sekarang mulai membalas apa yang dilakukan Wildan.

Pada saat Ana mulai membalas ciuman itu, Wildan segera membuka matanya dan melepaskannya. Matanya tampak kaget, seperti tidak sadar dengan apa yang ia lakukan barusan.

"Tidak bisa,"

"Wildan, Kamu kenapa?" Ana menatap wajah Wildan yang sekarang menatapnya dengan tatapan yang paling Ana benci, tatapan yang melihat Ana seperti orang asing dalam hidupnya.

Wildan kemudian menuju ke luar kamar dan meninggalkan Ana sendirian di belakang. Ana mendengar deru suara mesin mobil yang dihidupkan dan suara itu perlahan menghilang. Air mata Ana yang sudah ia tahan dari tadi menunggu di sudut matanya,

Wildan, sebenarnya kita ini apa?

Lalu akhirnya air mata itu jatuh.

(un) Happy WeddingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang